Senin, 14 Mei 2012

Kabupaten Bulukumba

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kabupaten Bulukumba
Lambang Kabupaten Bulukumba.jpeg
Lambang Kabupaten Bulukumba
Motto: Bulukumba Berlayar (Bersih Lingkungan, Alam Yang Ramah)

-
Peta lokasi Kabupaten Bulukumba
Koordinat: -
Provinsi Sulawesi Selatan
Dasar hukum UU Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi
Tanggal -
Ibu kota Kecamatan Ujung Bulu
Pemerintahan
 - Bupati H. Zainuddin Hasan
 - Wakil Bupati H. Syamsuddin
 - APBD -
 - DAU Rp. 431.348.855.000,-(2011)[1]
Luas 1.154,67 km2
Populasi
 - Total 394.757 jiwa (sensus penduduk 2010)
 - Kepadatan 341,88 jiwa/km2
Demografi
 - Kode area telepon 0413
Pembagian administratif
 - Kecamatan 10
 - Kelurahan 147
 - Situs web http://www.bulukumbakab.go.id/
Kantor Kabupaten Bulukumba
Pusat pembuatan kapal pinisi Kecamatan Bonto Bahari, Bulukumba
Kapal feri yang menghubungkan Pelabuhan Bira, Bulukumba dan Pulau Selayar
Kabupaten Bulukumba adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Bulukumba. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.154,67 km² dan berpenduduk sebanyak 394.757 jiwa (berdasarkan sensus penduduk 2010). Kabupaten Bulukumba mempunyai 10 kecamatan, 24 kelurahan, serta 123 desa.

Daftar isi

Letak wilayah

Secara kewilayahan, Kabupaten Bulukumba berada pada kondisi empat dimensi, yakni dataran tinggi pada kaki Gunung Bawakaraeng – Lompobattang, dataran rendah, pantai dan laut lepas.
Kabupaten Bulukumba terletak di ujung bagian selatan ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan, terkenal dengan industri perahu phinisi yang banyak memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba 1.154,67 Km2 dengan jarak tempuh dari Kota Makassar sekitar 153 Km.

Letak geografis

Secara geografis Kabupaten Bulukumba terletak pada koordinat antara 5°20” sampai 5°40” Lintang Selatan dan 119°50” sampai 120°28” Bujur Timur.
Batas-batas wilayahnya adalah:

Sejarah singkat

Mitologi penamaan "Bulukumba", konon bersumber dari dua kata dalam bahasa Bugis yaitu "Bulu’ku" dan "Mupa" yang dalam bahasa Indonesia berarti "masih gunung milik saya atau tetap gunung milik saya".
Mitos ini pertama kali muncul pada abad ke–17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua kerajaan besar di Sulawesi yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Di pesisir pantai yang bernama "Tana Kongkong", di situlah utusan Raja Gowa dan Raja Bone bertemu, mereka berunding secara damai dan menetapkan batas wilayah pengaruh kerajaan masing-masing.
Bangkeng Buki' (secara harfiah berarti kaki bukit) yang merupakan barisan lereng bukit dari Gunung Lompobattang diklaim oleh pihak Kerajaan Gowa sebagai batas wilayah kekuasaannya mulai dari Kindang sampai ke wilayah bagian timur. Namun pihak Kerajaan Bone berkeras memertahankan Bangkeng Buki' sebagai wilayah kekuasaannya mulai dari barat sampai ke selatan.
Berawal dari peristiwa tersebut kemudian tercetuslah kalimat dalam bahasa Bugis "Bulu'kumupa" yang kemudian pada tingkatan dialek tertentu mengalami perubahan proses bunyi menjadi "Bulukumba".
Konon sejak itulah nama Bulukumba mulai ada dan hingga saat ini resmi menjadi sebuah kabupaten.
Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya Undang–Undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang Lambang Daerah.
Akhirnya setelah dilakukan seminar sehari pada tanggal 28 Maret 1994 dengan narasumber Prof. Dr. H. Ahmad Mattulada (ahli sejarah dan budaya), maka ditetapkanlah hari jadi Kabupaten Bulukumba, yaitu tanggal 4 Februari 1960 melalui Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1994.
Secara yuridis formal Kabupaten Bulukumba resmi menjadi daerah tingkat II setelah ditetapkan Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba oleh DPRD Kabupaten Bulukumba pada tanggal 4 Februari 1960 dan selanjutnya dilakukan pelantikan bupati pertama, yaitu Andi Patarai pada tanggal 12 Februari 1960.

Slogan Kabupaten Bulukumba

Paradigma kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan memberikan nuansa moralitas dalam sistem pemerintahan yang pada tatanan tertentu menjadi etika bagi struktur kehidupan masyarakat melalui satu prinsip "Mali’ siparappe, Tallang sipahua."
Ungkapan yang mencerminkan perpaduan dari dua dialek bahasa Bugis – Makassar tersebut merupakan gambaran sikap batin masyarakat Bulukumba untuk mengemban amanat persatuan di dalam mewujudkan keselamatan bersama demi terciptanya tujuan pembangunan lahir dan batin, material dan spiritual, dunia dan akhirat.
Nuansa moralitas ini pula yang mendasari lahirnya slogan pembangunan "Bulukumba Berlayar" yang mulai disosialisasikan pada bulan September 1994 dan disepakati penggunaannya pada tahun 1996. Konsepsi "Berlayar" sebagai moral pembangunan lahir batin mengandung filosofi yang cukup dalam serta memiliki kaitan kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan dengan masyarakat Bulukumba.
"Berlayar", merupakan sebuah akronim dari kalimat kausalitas yang berbunyi "Bersih Lingkungan, Alam Yang Ramah". Filosofi yang terkandung dalam slogan tersebut dilihat dari tiga sisi pijakan, yaitu sejarah, kebudayaan dan keagamaan.

Pijakan sejarah

Bulukumba lahir dari suatu proses perjuangan panjang yang mengorbankan harta, darah dan nyawa. Perlawanan rakyat Bulukumba terhadap kolonial Belanda dan Jepang menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 diawali dengan terbentuknya "barisan merah putih" dan "laskar brigade pemberontakan Bulukumba angkatan rakyat". Organisasi yang terkenal dalam sejarah perjuangan ini, melahirkan pejuang yang berani mati menerjang gelombang dan badai untuk merebut cita–cita kemerdekaan sebagai wujud tuntutan hak asasi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Pijakan kebudayaan

Dari sisi budaya, Bulukumba telah tampil menjadi sebuah "legenda modern" dalam kancah percaturan kebudayaan nasional, melalui industri budaya dalam bentuk perahu, baik itu perahu jenis phinisi, padewakkang, lambo, pajala, maupun jenis lepa–lepa yang telah berhasil mencuatkan nama Bulukumba di dunia internasional. Kata layar memiliki pemahaman terhadap adanya subjek yang bernama perahu sebagai suatu refleksi kreativitas masyarakat Bulukumba.

Pijakan Keagamaan

Masyarakat Bulukumba telah bersentuhan dengan ajaran agama Islam sejak awal abad ke–17 Masehi yang diperkirakan tahun 1605 M. Ajaran agama Islam ini dibawa oleh tiga ulama besar (waliyullah) dari Pulau Sumatera yang masing–masing bergelar Dato Tiro (Bulukumba), Dato Ribandang (Makassar) dan Dato Patimang (Luwu). Ajaran agama Islam yang berintikan tasawwuf ini menumbuhkan kesadaran religius bagi penganutnya dan menggerakkan sikap keyakinan mereka untuk berlaku zuhud, suci lahir batin, selamat dunia dan akhirat dalam kerangka tauhid "appasewang" (meng-Esa-kan Allah SWT).

Lambang daerah Kabupaten Bulukumba

Berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Bulukumba Nomor: 13 Tahun 1987, maka ditetapkanlah Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba dengan makna sebagai berikut:
1. Perisai Persegi Lima
Melambangkan sikap batin masyarakat Bulukumba yang teguh memertahankan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.
2. Padi dan Jagung
Melambangkan mata pencaharian utama dan merupakan makanan pokok masyarakat Bulukumba. Bulir padi sejumlah 17 bulir melambangkan tanggal 17 sebagai tanggal kemerdekaan RI. Daun jagung sejumlah 8 menandakan bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan RI. Kelopak buah jagung berjumlah 4 dan bunga buah jagung berjumlah 5 menandakan tahun 1945 sebagai tahun kemerdekaan RI.
3. Perahu Phinisi
Sebagai salah satu mahakarya ciri khas masyarakat Bulukumba, yang dikenal sebagai "Butta Panrita Lopi" atau daerah bermukimnya orang yang ahli dalam membuat perahu.
4. Layar perahu phinisi berjumlah 7 buah.
Melambangkan jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Bulukumba, tetapi sekarang sudah dimekarkan dari tujuh menjadi 10 kecamatan.
5. Tulisan aksara lontara di sisi perahu "Mali Siparappe, Tallang Sipahua".
Mencerminkan perpaduan dari dua dialek Bugis-Makassar yang melambangkan persatuan dan kesatuan dua suku besar yang ada di Kabupaten Bulukumba.
6. Dasar Biru
Mencerminkan bahwa Kabupaten Bulukumba merupakan daerah maritim.

10 Kecamatan

Awal terbentuknya, Kabupaten Bulukumba hanya terdiri atas tujuh kecamatan (Ujungbulu, Gangking, Bulukumpa, Bontobahari, Bontotiro, Kajang, Herlang), tetapi beberapa kecamatan kemudian dimekarkan dan kini “butta panrita lopi” sudah terdiri atas 10 kecamatan.
Ke-10 kecamatan tersebut adalah:
1. Kecamatan Ujungbulu (Ibukota Kabupaten)
2. Kecamatan Gantarang
3. Kecamatan Kindang
4. Kecamatan Rilau Ale
5. Kecamatan Bulukumpa
6. Kecamatan Ujungloe
7. Kecamatan Bontobahari
8. Kecamatan Bontotiro
9. Kecamatan Kajang
10. Kecamatan Herlang
Dari 10 kecamatan tersebut, tujuh di antaranya merupakan daerah pesisir sebagai sentra pengembangan pariwisata dan perikanan yaitu Kecamatan Gantarang, Kecamatan Ujungbulu, Kecamatan Ujung Loe, Kecamatan Bontobahari, Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang dan Kecamatan Herlang.
Tiga kecamatan lainnya tergolong sentra pengembangan pertanian dan perkebunan, yaitu Kecamatan Kindang, Kecamatan Rilau Ale dan Kecamatan Bulukumpa.

Daftar Bupati/wakil Bupati Bulukumba

1. Andi Patarai (12 Februari 1960 - 1966)
2. Andi Bakri Tandaramang (1966-1978)
3. Amien Situru (1978, Pjs)
4. HA Hasanuddin (1978-1980)
5. Malik Hambali (1980-1985)
6. HA Kube Dauda (1985-1990)
7. Andi Tamrin (1990-1995)
8. HA Patabai Pabokori (1995-2005)
9. AM Sukri Sappewali-H. Padasi (2005-2010)
10. Azikin Solthan (2010, Plt)
11. Zainuddin Hasan-Syamsuddin (2010-2015)

Topografi

Daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0 s/d 25 meter di atas permukaan laut meliputi tujuh kecamatan pesisir, yaitu: Kecamatan Gantarang, Kecamatan Ujungbulu, Kecamatan Ujung Loe, Kecamatan Bontobahari, Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang dan Kecamatan Herlang.

Morfologi bergelombang

Daerah bergelombang dengan ketinggian antara 25 s/d 100 meter dari permukaan laut, meliputi bagian dari Kecamatan Gantarang, Kecamatan Kindang, Kecamatan Bontobahari, Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang, Kecamatan Herlang, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Rilau Ale.

Morfologi perbukitan

Daerah perbukitan di Kabupaten Bulukumba terbentang mulai dari Barat ke utara dengan ketinggian 100 s/d di atas 500 meter dari permukaan laut meliputi bagian dari Kecamatan Kindang, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Rilau Ale.

Ketinggian

Wilayah Kabupaten Bulukumba lebih didominasi dengan keadaan topografi dataran rendah sampai bergelombang. Luas dataran rendah sampai bergelombang dan dataran tinggi hampir berimbang, yaitu jika dataran rendah sampai bergelombang mencapai sekitar 50,28% maka dataran tinggi mencapai 49,72%.

Klimatologi

Kabupaten Bulukumba mempunyai suhu rata-rata berkisar antara 23,82 °C – 27,68 °C. Suhu pada kisaran ini sangat cocok untuk pertanian tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Berdasarkan analisis Smith – Ferguson (tipe iklim diukur menurut bulan basah dan bulan kering) maka klasifikasi iklim di Kabupaten Bulukumba termasuk iklim lembap atau agak basah.
Kabupaten Bulukumba berada di sektor timur, musim gadu antara Oktober – Maret dan musim rendengan antara April – September. Terdapat 8 buah stasiun penakar hujan yang tersebar di beberapa kecamatan, yakni: stasiun Bettu, stasiun Bontonyeleng, stasiun Kajang, stasiun Batukaropa, stasiun Tanah Kongkong, stasiun Bontobahari, stasiun Bulo–bulo dan stasiun Herlang.
Daerah dengan curah hujan tertinggi terdapat pada wilayah barat laut dan timur sedangkan pada daerah tengah memiliki curah hujan sedang sedangkan pada bagian selatan curah hujannya rendah.
Curah hujan di Kabupaten Bulukumba sebagai berikut:
•Curah hujan antara 800 – 1000 mm/tahun, meliputi Kecamatan Ujungbulu, sebagian Gantarang, sebagian Ujung Loe dan sebagian besar Bontobahari.
•Curah hujan antara 1000 – 1500 mm/tahun, meliputi sebagian Gantarang, sebagian Ujung Loe dan sebagian Bontotiro.
•Curah hujan antara 1500 – 2000 mm/tahun, meliputi Kecamatan Gantarang, sebagian Rilau Ale, sebagian Ujung Loe, sebagian Kindang, sebagian Bulukumpa, sebagian Bontotiro, sebagian Herlang dan Kecamatan Kajang.
•Curah hujan di atas 2000 mm/tahun meliputi Kecamatan Kindang, Kecamatan Rilau Ale, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Herlang.

Jenis tanah

Tanah di Kabupaten Bulukumba didominasi jenis tanah latosol dan mediteran. Secara spesifik terdiri atas tanah alluvial hidromorf coklat kelabu dengan bahan induk endapan liat pasir terdapat dipesisir pantai dan sebagian di daratan bagian utara. Sedangkan tanah regosol dan mediteran terdapat pada daerah-daerah bergelombang sampai berbukit di wilayah bagian barat.

Hidrologi

Sungai di kabupaten Bulukumba ada 32 aliran yang terdiri dari sungai besar dan sungai kecil. Sungai-sungai ini mencapai panjang 603,50 km dan yang terpanjang adalah sungai Sangkala yakni 65,30 km, sedangkan yang terpendek adalah sungai Biroro yakni 1,50 km. Sungai-sungai ini mampu mengairi lahan sawah seluas 23.365 Ha.
SEJARAH SINGKAT KOTA MAKASSAR
Kota Makassar yang pernah bernama Ujung Pandang adalah wilayah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo yang terletak pada pesisir pantai sebelah barat semenanjung Sulawesi Selatan. Pada mulanya merupakan bandar kecil yang didiami oleh Suku Makassar dan Bugis yang dikenal sebagai pelaut ulung dengan perahu PINISI atau PALARI. Jika ditinjau dari sejarah Kerajaan Majapahit dibawah Raja HAYAM WURUK (1350-1389) dengan Maha Patih GAJAH MADA bertepatan dengan masa pemerintahan Raja Gowa ke-II TUMASALANGGA BARAYA (1345-1370), Makasar (Makassar) sudah dikenal dan tercantum dalam lembaran Syair 14 (4) dan (5) Kitab Negarakertagama karangan PRAPANCA (1364) sebagai Daerah ke-VI Kerajaan Majapahit di Sulawesi.

MASA SEJAK BERDIRINYA KERAJAAN GOWA DAN KERAJAAN TALLO
1. Kerajaan Gowa berdiri kira-kira tahun 1300 Masehi dengan raja yang pertama adalah seorang perempuan bernama TUMANURUNG (1320-
1345) yang kawin dengan KARAENG BAYO berasal dari Bonthain yang menurunkan raja-raja Gowa selanjutnya.

2. Pusat Kerajaan Gowa ini terletak diatas bukit Takka'bassia yang kemudian berubah namanya menjadi Tamalate, tempat ini menjadi pusat Kerajaan Gowa sampai kepada masa pemerintahan Raja Gowa ke-VIII I-PAKERE TAU TUNIJALLO RI PASSUKKI (1460-1510).

3. Dalam masa pemerintahan Raja Gowa ke-VI TUNATANGKA LOPI 1445-1460) terjadi pembagian kerajaan, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, masing-masing dipegang oleh kedua puteranya yaitu Kerajaan Gowa dipegang oleh BATARA GOWA TUNIAWANGA RI PARALEKKANNA sebagai Raja Gowa ke-VII (1460) dan Kerajaan Tallo dipegang oleh KARAENG LOE RI SERO sebagai Raja Tallo Pertama.

4. Raja Gowa ke-IX DAENG MATANRE KARAENG MANGNGUNTUNGI yang bergelar TUMAPA'RISI KALLONA kedua kerajaan Gowa dan Tallo disatukan kembali dan diperintah oleh Raja Gowa, dan yang menjadi Mangkubumi adalah Raja Tallo. Kedua kerajaan ini sering disebut Kerajaan Makassar.

5. Pembangunan Benteng Somba Opu dari tanah liat pada tahun 1525 oleh Raja Gowa ke-IX TUMAPA'RISI KALLONNA (1510-1546). Dalam benteng ini dibanguna istana raja Gowa. Makassar (Kerajaan Gowa) menjadi pusat bandar niaga dengan syahbandar adalah DAENG PAMMATE yang diangkat pada tahun 1538. Sejak itu Makassar menjadi Ibu Negeri, dengan bertitik pusat pada Kota Raja Somba Opu.

6. Raja Gowa ke-X I-MANRIWAGAU DAENG BONTO KARAENG LAKIUNG TUNIPALLANGGA ULAWENG (1546-1565) Benteng Somba Opu disempurnakan dan dibangun dari batu bata.

7. Benteng Jumpandang (Ujung Pandang) yang mulai didirikan pada tahun 1545 pada masa pemerintahan TUMAPA'RISI KALLONNA kemudian dilanjutkan oleh TUNIPALLANGGA ULAWENG, maka oleh Raja Gowa SULTAN ALAUDDIN pada tanggal 9 Agustus 1634 membuat dinding tembok Benteng Ujung Pandang, dan pada tanggal 23 Juni 1635 dibuat lagi dinding tembok kedua dekat pintu gerbang sehingga menyerupai seekor penyu.

8. Raja Gowa ke-XIV I-MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN memerintah mulai tahun 1593-1639 dengan Mangkubumi I-MAL-LING

Pesan Lestari dari Negeri Ammatoa

Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, PASANG. Bagaimana masyarakat adat kajang mengimplementasi ajaran Pasang kaitanya dengan pelestarian lingkungan hidup?..

Secara harfiah kalau diartikan, Pasang berarti ”pesan” tapi kalau di kalangan masyarakat adat Kajang, Pasang mengandung makna yang lebih dari sekadar sebuah pesan. Eksistensi Pasang sifatnya menjadi sebuah keharusan dan kewajiban untuk dilaksanakan menjadikan posisinya sama halnya dengan nilai wahyu dan atau sunnah yang dikenal dalam ajaran agama-agama samawi.

Hal yang membuktikan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasang langsung mendapatkan sanksi yang berlaku selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di akhirat nantinya. Masyarakat Kajang dalam mengelola sumber daya hutan tidak terlepas dari kepercayaannya terhadap ajaran pasang. Masyarakat Kajang memahami bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya.

Selain kepercayaanya, faktor yang berpengaruh untuk menjaga keseimbangan sumberdaya hutan adalah utuhnya pandangan mereka terhadap asal mula leluhurnya bahwa manusia berkembang dimulai dari Amma Toa pertama sebagai Tomanurung dan dunia meluas dimulai dari hutan Tombolo (Tana Toa), dimana manusia pertama itu (Amma Toa) “turun” di hutan Tombolo. Itulah keyakinan mereka terhadap leluhurnya yang hingga saat ini masih melekat dipikiran dan hati sanubari warga masyarakat Kajang.

Bagi orang Kajang diyakini bahwa merawat hutan adalah merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Mereka yakin dan percaya bahwa di sekitarnya terhadap sesuatu kekuatan “supernatural” yang bagi manusia tidak mampu menghadapinya. Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupannya.

Dengan modal Pasang tersebut, masyarakat adat kajang menjadi bukti betapa kuatnya kearifan lokal masyarakat adat Kajang dalam pengelolaan hutan. ”Dengan Pasang inilah semua bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan diatur dengan jelas termasuk menjadi alat pengawasan serta kontrol atas semua aktivitas yang berhubungan dengan kehutanan,”kata Abdul Syukur Ahmad aktivis Koalisi Ornop Untuk Hutan Sulawesi Selatan (KONSTAN).

Kondisi tersebut yang menjadikan Kajang memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri untuk menjadi pembelajaran bagi masyarakat-masyarakat adat lainnya di Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia dalam membangun kehutanan yang adil dan lestari.
Indikator dari lestarinya hutan di Kajang tidak terlepas dengan kepatutan dan penghormatan atas hukum-hukum adat yang dituangkan dalam Pasang.

Arti Lingkungan Bagi Masyarakat Kajang

Persepsi masyarakat Kajang terhadap alam, bahwa di alam ini ada kekuatan-kekuatan dan kekuatan-kekuatan itu ada pada benda-benda, pohon besar dan lain-lain. Kekuatan-kekuatan alam itu ada pada gejala atau peristiwa alam yang digerakkan oleh dewa-dewa seperti kekuatan-kekuatan yang ada di hutan.

Dengan demikian bahwa persepsi masyarakat Kajang terhadap sumberdaya alam ini (termasuk hutan), menunjukkan adanya hubungan antara kepercayaan dengan keberadaan hutan dan prinsip hidup sederhana (tallasa kamase-masea).

Kawasan hutan adat Kajang kaya akan potensi berbagai keanekaragan hayati seperti jenis kayu dan hasil-hasil hutan bukan kayu lainnya seperti rotan, kayu bitti, lebah madu dan berbagai jenis tanaman lainnya. Selain itu kawasan hutan adat Kajang juga memiliki beberapa jenis hewan antara lain rusa, babi, kera, kus-kus serta beberapa jenis burung yang hingga kini masih tetap terjaga.

Fungsi “Patuntung” dalam Pengelolaan Hutan Adat Kajang

Selain ajaran Pasang, masyarakat yang kesehariannya serba berpakian hitam ini, juga memiliki aturan adat yang disebut Patuntung. Patuntung adalah sebuah aturan adat yang berhubungan dengan upaya-upaya untuk mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari.

Hal tersebut tidak terlepas dari keyakinan masyarakat adat Kajang bahwa hutan adalah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam melangsungkan kehidupan mereka. Terbukanya akses dengan masyarakat luar, Patuntung menjadi sangat penting dalam menjaga kelestarian ekosistem dan mempertahankan fungsi-fungsi hutan adat Kajang karena disamping pengaturannya yang terkait dengan pengelolaan hutan, Patuntung juga memiliki nilai ritual. “Oleh karena itu, perlakuan masyarakat adat Kajang terhadap hutan tidak semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi untuk kepentingan menjaga keseimbangan ekosistem dan kepentingan ritualnya,”jelas Ollong panggilan akrab Abdul Syukur.

Pengaruh kehidupan modern, bagi masyarakat adat Kajang juga memiliki pengetahuan bahwa kayu atau hutan adalah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Namun mereka masih sangat menghormati dan menjunjung tinggi peranan hutan sebagai hal yang sangat sakral. Karena itu prilaku keseharian masyarakat adat Kajang masih diwarnai oleh tindakan yang mementingkan keseimbangan antara spritual dan ekonomi.

Diungkapkan, berdasarkan hasil diskusi antara penggiat hutan berbasis masyarakat se-Sulawesi Selatan yang di fasilitasi oleh KONSTAN di rumah Bapak AMMATOA Kajang beberapa waktu lalu diketahui pembagian fungsi hutan berdasarkan kepercayaan Patuntung yaitu hutan dipandang memiliki fungsi ritual sehingga bagi masyarakat Adat kayang hutan dipercaya sebagai sesuatu yang sakral.

Untuk fungsi ritual tersebut, beberapa upacara-upacara terpenting masyarakat adat Kajang dilakukan dalam kawasan hutan seperti upacara pelantikan AMMATOA, upacara Attunu Passau (upacara kutukan dari pelanggar adat), upacara pelepasan nazar dan beberapa upacara lainnya.

Selain itu, bagi masyarakat adat Kajang juga memfungsikan hutan sebagai pengatur tata air. Fungsi itu terutama untuk mengatur turunnya hujan. Penggiat hutan kemasyarakatan kadang menyebut konsep tersebut dengan nama Community Base Forest Management (CBFM).

Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk masyarakat adat Kajang telah lama mengembangkan konsep pengelolaan hutan yang dibagi berdasarkan zona-zona tertentu seperti Rabbang Seppang (batas sempit) adalah zona lindung. Zona tersebut tidak boleh diganggu bahkan masuk sembarangan dalam kawasan itu tidak diperbolehkan sama sekali.

Kemudian Rabbang Laura (batas luas) adalah zona wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari misalnya untuk wilayah perkampungan, pertanian, perkebunan, sebagai lokasi pengembalaan ternak.

Wilayah komunitas adat kajang bisa dicapai dengan menempuh perjalanan sekitar 3 jam perjalanan dari Kota Makassar. Semua pengunjung disyaratkan mengenakan pakian serba hitam serta diwajibkan mematuhi semua peraturan adat yang telah ditetapkan Ketua Adat, AMMATOA.

Masyakat Adat Kajang secara geografis terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa antara lain Desa Tana Towa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan sebelah Utara berbatasan dengan Tuli, Timur berbatasan dengan Limba, sebelah Selatan berbatasan dengan Seppa dan sebelah Barat berbatasan dengan Doro.

Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba diantaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe. Perkembangan masyarakat adat Kajang hingga saat ini menutur data statistik pemerintah Kabupaten Bulukumba diperkirakan sekitar 44.866 jiwa atau 11,83% dari total penduduk Kabupaten Bulukumba.


Asal Usul Kajang

Berdasarkan sejarah asal-usul. Masyarakat Adat Kajang menetapkan bahwa sejak manusia ada masyarakat adat Kajang sudah ada di muka bumi Penegasan sejarah asal usul tersebut ditetapkan dalam Pasang bahwa Yang Maha Kuasa menciptakan bumi Dia bingung dan gelisah karena ada bumi tapi tidak ada penghuninya sehingga Ammatoa menghadirkan adat lima..

Adat lima tersebut terdiri atas masing-masing; Galla Pantama, Galla Puto, Galla Lombok, Galla Kajang dan Galla Malleleng. Kehadiran adat lima tersebut memberi arti penting bagi Ammatoa sendiri karena didukung oleh kontribusi pemikiran dan teman diskusi untuk bumi selanjutnya.

Lahirnya adat lima yang dibentuk oleh Ammatoa dengan peran dan tanggung jawab serta keahliannya masing-masing, membutuhkan struktur baru atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan putra mahkota.

Dalam perjalanannya, kemudian lahirlah putra mahkota atau Moncong Bola yang berasal dari Labbiria atau Karaeng. Selanjutnya muncullah Sullehatan dan seterusnya struktur lembaga adat Kajang semakin lama semakin bertambah sesuai kebutuhan komunitas Masyarakat Adat Kajang sampai berjumlah 26 struktur yang memiliki berbagai fungsi dan wewenang masing-masing.

Dengan struktur dan pembagian kewenangan yang sangat jelas tersebut, membuktikan bahwa masyarakat adat Kajang sejak dahulu kala sudah mengenal sistem pemerintahan yang sangat kuat. Sejarah telah membuktikan bahwa sejak beberapa abad yang silam, masyarakat adat Kajang di bawah Kepemimpinan Ammatoa telah membangun hubungan-hubungan dengan masyarakat luar diantaranya dengan kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan seperti Gowa, Luwu dan Bone.

Pengalaman dalam membangun kerjasama tersebut, sekarang ini secara langsung bisa di lihat dengan aksebilitas masyarakat adat Kajang dengan pihak luar semakin mudah dan bisa kita saksikan sebagian pemuda-pemudi Kajang keluar untuk urusan studi dan berbagai aktivis lainya.

Sekedar diketahui bahwa kawasan Hutan Tana Towa Kajang, berdasarkan Kepmenhut Nomor: 504/Kpts-II/1997 terdiri atas 331,17 ha. Kawasan hutan di Tana Towa Kajang ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas, hal tersebut bisa dibaca dalam buku Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1999.

Dengan status kawasan yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut secara otomatis akan berbenturan dengan pengurusan kawasan hutan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Kajang dan sudah berlangsung secara turun-temurun bahkan sebelum negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk, dimana sudah ada kearifan-kearifan lokal masyarakat adat Kajang)***.

arham dahari

Senin, 27 Februari 2012

mantan direktur LBH makassar berkata

A. MUTTALIB
          TEGAKKAN KEADILAN HINGGA NAFAS TERAKHIR KUHEMBUSKAN
      
    
      26 Nopember 2011 21:17SESAT PIKIR UNDANG-UNDANGBANTUAN HUKUM
OlehAbdul Muttalib

A.   PENDAHULUANTanggal4 Oktober 2011, Undang-Undang (UU) Bantuan Hukum telah disahkan oleh DPR.Setelah beberapa tahun terjadi tarik ulur antara Pemerintah, DPR dan AktivisPekerja Bantuan Hukum, akhirnya UU ini disahkan. Dengah disahkannya UU ini,maka penyelenggaraan Bantuan Hukum akan dikelola oleh Menteri Hukum dan HAMdengan berbagai kewenangan yang akan dimiliki. Menteri Hukum dan HAM juga telahmempersiapkan pelaksanaan Bantuan Hukum ini akan dimulai pada 2013 mendatang.Pertanyaan mendasar seberapa efektifkah, kesiapan penyelenggaraan bantuan hukumini berlangsung dibawah tanggungjawab Menteri Hukum dan HAMB.   PENYELENGARA BANTUAN HUKUMDalamPasal 6 UU Bantuan Hukum menyatakan ; Ayat (2) PemberianBantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum diselenggarakan oleh Menteri dandilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini. Kewenangan sebagaipenyelenggara Pemberian Bantuan Hukum diperkuat dengan mandat sebagaimanatertuang dalam ayat (3) yakni ; Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)bertugas: menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan BantuanHukum; menyusun dan menetapkan Standar BantuanHukum berdasarkan asas-asas pemberianbantuan hukum; menyusun rencana anggaran BantuanHukum; mengelola anggaran Bantuan Hukum secara efektif,efisien, transparan, dan akuntabel; dan menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan bantuanhukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran. Dengan kata lain seluruhperangkat penyelenggaran Bantuan Hukum sepenuhnya menjadi kewenanganKementerian Hukum dan HAM.KehadiranUU Bantuan Hukum ini tentu saja menjadi supportsystem  negara dalam rangka mendorongacces to justice dan pemenuhanhak-hak konstitusional setiap warga negara. Namun di satu sisi UU ini cenderungmenjadi sangat “ekslusif serta sarat kepentingan” karena seluruh rencanapenyelenggaraanya akan dikelola oleh Kementerian dan kemungkinan akandijalankan di salah satu unit di Kementrian tersebut, entah akan dikelola unitBadan Pembinaan Hukum Nasional atau Badan Pengembangan Sumber Daya ManusiaHukum dan HAM. Dalam konteks kelembagaan (GoverningBody) Bantuan Hukum ini sangat bertolak belakang dari rancangan yangdisodorkan oleh masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untukBantuan Hukum (KUBAH) yang mengusulkan KomisiNasional Bantuan Hukum atau LembagaBantuan Hukum Nasional sebagai penyelenggara Bantuan Hukum dimana badan tersebutmerupakan lembaga yang mandiri/independen dan tidak mudah diintervensi olehkekuasaan serta diisi oleh kalangan Akademisi, Pemerintah, anggota masyarakatyang mempunyai pengalaman dan pengetahuan dibidang bantuan hukum. Di banyaknegara di dunia mengamanatkan dan mensyaratkan pembentukan lembaga yangmengatur, menetapkan dan kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum diserahkanpada otoritas yang independen, misalnya di Belanda dan Australia menggunakan Legal Aid Commmision (LAC), Taiwanmenggunakan Legal Aid Foundation (LAF), AfrikaSelatan menggunakan Legal Aid Board (LAB),Amerika menggunakan Legal ServiceCorporation (LSC), Inggris dan Wales yang menggunakan nama Legal Service Commission (LSC).Entahdengan pertimbangan apa sehingga DPR RI tidak mengusulkan lembaga independenseperti di beberapa negara tersebut, sebaliknya DPR menunjuk kementerian yangbeberapa tahun terakhir dililit berbagai persoalan kinerja. DPR yang selaluberkelit dengan alasan klasik bahwa karakter Indonesia berbeda dengan negaralain sehingga tidak perlu mencontoh negara-negara lain dalam membuat regulasi.Akibatnya, Indonesia memang benar-benar berbeda dengan negara lain, regulasidibuat, regulasinya dilanggar sendiri oleh pembuatnya, regulasinya dapatdiatur, regulasi pun bisa dipersoalkan bahkan memanggil siapapun berdasarkankewenangannya.C.   BANTUAN HUKUM YANG DIPANDANG MURAHKarenadalam UU ini menyebutkan bahwa Pemberi Bantuan Hukum adalah LembagaBantuanHukumatau OrganisasiKemasyarakatanyang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang ini (Pasal 1 ayat 3), maka dapatdipastikan kelak akan banyak bermunculan LBH dibawah naungan OrganisasiMasyarakat (Ormas) jika saja mekanisme verifikasi dan akreditasi berdasarkanPasal 8 UU ini tidak dilakukan secara profesional, ketat, transparan danakuntabel. Begitu “sederhananya” yang dimaksud Pemberi Bantuan Hukum dalam UUini, syarat-syarat yang ditetapkan sangat pula sederhana, yakni ;(a) berbadan hukum; (b)terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini; (c) memilikikantor atau sekretariat yang tetap;(d) memiliki pengurus; dan (e) memiliki program bantuan hukum.Artinya, apapun ormas tersebut jika membentuk unit LBH tidak akan mendapatkanbanyak kesulitan untuk lolos syarat menjadi pemberi bantuan hukum sebabsyarat-syarat yang ditetapkan UU ini relatif mudah terkecuali syaratAkreditasi, itupun jika Tim Akreditasi Penyelenggara Bantuan Hukum (KementerianHukum dan HAM) tidak diisi oleh orang-orang yang kapabel, maka syarat inipunbisa menjadi mudah. KarenaUU ini menegaskan bantuan hukum dalam konteks litigasi dan non litigasi sertaprogram, namun tidak mengatur mekanisme syarat-syarat Akreditasi yang ketatutamanya soal jumlah advokat dan non Advokat di Lembaga Pemberi Bantuan Hukum makaini menjadi peluang besar terjadinya “permainan proyek bantuan hukum”, sangatdimungkinkan akan dimanfaatkan pihak-pihak yang hanya berkepentingan mengejarproyek.Persoalanlain yang bisa menjadi masalah dalam pelaksanaan UU karena UU ini tidakmempertegas definisi Pemberi Bantuan Hukum sementara dalam konteks penangananperkara litigasi, Pengadilan sangat ketat memverifikasi Kartu Advokat, maka UUini menjadi latah jika Pemberi Bantuan Hukum justru tidak mengerti UU Advokat.Pernyataan Menteri Hukum dan HAM setelah UU ini disahkan, meminta agarPerguruan Tinggi segera membentuk LBH-LBH merupakan pernyataan yang amatenteng. Seolah-olah membentuk LBH adalah pekerjaan mudah, membentuk karakterPekerja Bantuan Hukum adalah pekerjaan enteng tanpa memikirkan aspek-aspek lainterkait pelaksanaan pemberian bantuan hukum. Timbul kesan bahwa seolah BantuanHukum adalah Barang Murah. PadahalPresiden SBY, dalam Pidato Sambutannya pada Pembukaan Pertemuan Puncak AksesTerhadap Keadilan dan Bantuan Hukum, Tahun 2006, menyatakan : “apa yangdilakukan YLBHI sekarang ini, dalam forum ini beserta outputnya harus kitapandang dari dua sisi, solving theproblems and upholding the law and lay down foundation, untuk bantuanhukum, untuk akses terhadap keadilan dan lain-lain yang berkaitan dengan itu diwaktu yang akan datang”. Presiden justru memandang Bantuan Hukum secara lebihluas dan tidak menilai secara sederhana.Sifatsetengah hati Undang-Undang ini dipertegas lagi dengan penegasan Pasal 5 yangmenegaskan bahwa yang dimaksud penerima bantuan hukum adalah meliputihak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan danberusaha, dan/atau perumahan.  Pasal inisecara tegas tidak mengakomodir bantuan hukum terhadap kasus-kasus tertentuyang karakter kasusnya struktural.D.    PENUTUP
Memangbelum saatnya mengkritisi pelaksanaan dari UU Bantuan Hukum karena aturanteknisnya belum dikeluarkan tapi semangat Pemerintahan Presiden SBY dalammendorong acces to justice dapatdibahasakan setengah hati karena dengan tidak independennya penyelenggaraanBantuan Hukum bisa berdampak pada implementasi acces to justice itu sendiri yang sewajarnya bisa mengakomodirkepentingan pencari keadilan dari berbagai aspek ; mudah diakses (accesible),terjangkau (avaliability), berkelanjutan (sustainable) dan dapatdipertanggungjawab (credible) dan akuntabel.

Penulis,Advokat,Mantan Direktur LBH Makassar Media files video-play.mp4 (MPEG-4 File Format, 0 bytes)26 Nopember 2011 21:32Bila kita sadari,
betapa kecilnya diri kita
bila kita sadari,
betapa lemahnya diri kita
bila kita sadari,
betapa luas ruang dan waktu
bila kita sadari,
kita bukanlah siapa-siapa dihadapan Allah Yang Maha Kuasa
bila kita sadari,
tak pantas kita bersikap angkuh kepada sesama

 sebesar manakah kita dengan alam semesta???AKSES KEADILAN UNTUK RAKYAT13 Agustus 2009 23:31Oleh Abdul Muttalib

A. PENGANTAR
“LBH telah merancang program-program pembaruan hukum yang amat ambisius, maka segeralah LBH menjadi organisasi pembaharu yang terkemuka di Indonesia” (Daniel Lev)

38 Tahun yang lalu, DR. Iur. Adnan Buyung Nasution, SH bersama beberapa advokat yang tergabung dalam Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI).
Pemikiran yang melatarbelakangi pendirian YLBHI tidak lain adalah semangat untuk memberikan layanan bantuan hukum kepada kaum miskin yang tertindas. Pada masa itu tentu saja aroma penindasan dan perampasan hak-hak hukum kaum marginal menjadi tontonan dan penguasa memperlihatkan hegemoninya dengan jargon – jargon “atas nama hukum dan atas nama kekuasaan”.
Kehadiran YLBHI yang kemudian melahirkan sel-selnya yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di 14 Propinsi di Indonesia praktis menjawab kegelisahan rakyat yang selama ini mendambakan apa yang disebut acces to justice (akses terhadap keadilan).
Fakta membuktikan bahwa eksistensi LBH-YLBHI telah mampu memberikan layanan bantuan hukum sejak dilahirkan hingga kini. Bahkan memperluas ranah perjuangannya tidak semata-mata pada penegakan hokum tetapi lebih dari itu yakni menjawab realitas-realitas social yang terjadi di masyarakat. LBH –YLBHI telah mampu mereduksi pemikiran hokum secara general dan mampu meletakkan pondasi Bantuan Hukum dalam berbagai perspektif. Dalam tinjauan ini, logika sederhana yang diusung LBH-YLBHI, bahwa transformasi social yang terjadi selama ini di masyarakat adalah bagian dari lemahnya struktur social. Sehingga kemudian memperluas gerakan bantuan hokum yang digalakkan melalui terobosan-terobosan dengan mengkampanyekan dan menggalang kekuatan dengan isu Penegakan Hukum dan Perlidungan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan asumsi bahwa penegakan hokum dan perlidungan HAM adalah dua sisi mata uang.
Tekonologi hukum yang dirancang LBH-YLBHI tidak hanya itu, bahkan diperluas lagi dengan melakukan pendekatan dan gerakan bantuan hukum dari perspektif kemiskinan structural. Bagi LBH-YLBHI kemiskinan merupakan salah satu persoalan krusial yang melahirkan masalah hokum sehingga tinjauan LBH pun dalam kerangka ini memandang dari seluruh aspek sosio, politik dan cultural, yang melahirkan idiologi gerakan LBH yakni Bantuan Hukum Struktural (BHS). Konsep inilah yang dikenal banyak kalangan hokum sebagai “gerakan hukum fundamental”.
Pada beberapa dekade para Reformasi Pola gerakan BHS dilahirkan guna menjawab sikap pemerintah melalui gaya militeristik yang represif. Hingga terjadi keresahan sosial dengan cara penggusuran, penyiksaan, penculikan, penahanan dan bila perlu dilakukan rekayasa perkara di muka pengadilan. Kebanyakan hal ini diperaktekkan pada negara di Dunia Ketiga yang menganut dan memperaktekkan korporatisme. Dalam Pandangan Marxist menyatakan bahwa negara adalah alat kekuasaan untuk menindas dari kelas dominan, atau dalam rumusan Engels, negara adalah corceive instrument (alat pemaksa) dari kelas dominan. Salah satu varian dari pandangan Marxist yang nampak berpengaruh adalah pandangan Gramscian. Dalam pandangan ini negara bukan saja menggunakan “ aparat repressif” untuk menguasai masyarakat, tetapi juga menggunakan “idiologi” untuk menghegomoni rakyat.


B. ACCES TO JUSTICE ADALAH HAK ASASI
Bantuan Hukum merupakan isu krusial karena secara paradigmatik hak atas bantuan hukum merupakan hak asasi manusia, sebagaimana telah diatur di dalam norma dan standar internasional HAM. Banyak standar hak asasi internasional yang menekankan pentingnya akses masyarakat atas bantuan hukum. DUHAM dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik – telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005 – menjamin persamaan hak setiap orang dimuka hukum tanpa diskriminasi dan berhak atas perlindungan hukum.
Contoh lain, dalam Program Aksi yang diadopsi Konferensi Dunia Ke-2 Pemberantasan Rasisme dan Diskriminasi Rasial 1983, diwajibkan bagi Negara untuk menyediakan bantuan hukum bagi korban yang berasal dari kelompok masyarakat miskin yang menjadi korban diskriminasi untuk memperoleh keadilan dan reparasi melalui badan-badan peradilan. Contoh lain, UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (“the Beijing Rules”), yang menyatakan perlunya bantuan hukum cuma-cuma pada anak-anak yang bermasalah dengan hokum; UN Declaration on the Rights of Disabled Persons yang menyatakan perlunya bantuan hukum yang berkualitas pada orang disfable (disable persons).

Di level nasional, bantuan hukum juga diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Walaupun tidak secara eksplisit diatur tentang bantuan hukum, namun UUD 1945 prinsip-prinsip negara hukum, pemenuhan keadilan dan hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak asasi setiap warga negara untuk mendapat bantuan hukum. Selanjutnya, dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, ditegaskan, ”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.
Bagian Keempat UU HAM menjamin hak setiap orang untuk memperoleh keadilan. Pasal 18 ayat (4) UU ini menjamin hak setiap orang yang diperiksa untuk mendapat bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam UUD 1945 dan UU 39/1999 dimandatkan perlindungan, pemajuan, penegakan hak asasi manusia merupakan tanggungjawab pemerintah. Namun sayangnya sampai sekarang belum nampak ada kemauan politik dan kebijakan konkret dari pemerintah untuk mewujudkan tanggungjawab dalam promosi dan pemenuhan hak atas bantuan hukum utamanya bagi masyarakat miskin. Hal ini bisa dilihat dari tiga hal penting.
Pertama, di level substansi hukum, tidak ada UU yang khusus mengatur tentang Bantuan Hukum, bahkan dalam Pertemuan Puncak Bantuan Hukum, pada April 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membuka acara tersebut, belum menyampaikan rencana pemerintah untuk menerbitkan UU Bantuan Hukum. Presiden hanya menyinggung bahwa inisiasi LBH untuk mengajukan RUU Bantuan Hukum, dipersilahkan diajukan ke DPR, selain ke pemerintah. Dalam perkembangannya, bantuan Hukum dimuat dalam Pasal 22 UU 18/2003 tentang Advokat, namun pengaturan ini tidak cukup dan tidak sesuai dengan makna bantuan hukum sebagai hak asasi manusia. Bantuan Hukum dalam UU Advokat tidak lebih sebagai ”charity” atau ”aksi belas kasihan” nya advokat, bukan sebagai tanggungjawab negara. Ironisnya, ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum yang seharusnya diatur melalui Peraturan Pemerintah hingga saat ini belum diterbitkan. Padahal konstitusi UUD 1945 jelas menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah (vide Pasal 28I ayat (4)
Permasalahan dan agenda pembenahan sistem dan politik hukum. Namun demikian tidak secara khusus dimuat agenda mempromosikan dan memenuhi hak masyarakat miskin atas bantuan hukum, dalam pembangunan nasional tahun 2004 – 2009. Ketiga, di level budaya hukum, pemerintah tidak melakukan pendidikan hukum yang memadai untuk mengembangkan daya kritis masyarakat, sehingga mereka semakin memahami hak-hak nya dan mampu memperjuangkan hak-haknya tersebut. Faktor lain yang mendorong pentingnya bantuan hukum dimasukkan dalam RPJM adalah kuantitas masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum. Sedikitnya 28.000 orang yang mendapat bantuan hukum dari LBH-YLBHI selama satu tahun. Angka ini akan semakin besar jika ditambahkan dengan jumlah klien dari LBH kampus, LBH partai politik, LBH ormas, posbakum.
Di Indonesia, tidak ada sepeserpun secara khusus yang dialokasikan APBN untuk membantu organisasi-organisasi lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi advokat dalam menjalankan bantuan hukum. Sebagai ilustrasi, di Afrika Selatan, pada 2004/2005 pemerintah negeri ini mengalokasikan USD 71,446,868 untuk dana bantuan hukum yang diberikan ke masyarakat dan organisasi penyedia bantuan hukum. Tahun anggaran berikutnya naik menjadi USD 73,790,087 (2005/2006) dan kembali naik sebesar USD 77,734,666 (2006/2007) atau jika dinilai dengan rupiah, Rp 723.709.740.460 (dengan kurs 1USD = Rp 9.310). APBN hanya dialokasikan untuk memberkas, memeriksa orang, menuntut dan memvonis orang, tapi tidak ada alokasi bahkan minimum untuk lembaga-lembaga yang melakukan pembelaan dalam proses peradilan. Padahal, sering kita dengan jargon supremasi hukum, keadilan atau peradilan yang fair. Belum jelas benar, apakah alokasi anggaran untuk program peningkatan pelayanan dan bantuan hukum memang benar-benar ada (Laporan UNDP dalam RPJM Bantuan Hukum Tahun 2007).
Tahun 2005 LBH-YLBHI merusmuskan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum (RUUBH). Sangat disayangkan RUU ini yang semestinya telah menjadi agenda legislasi di DPR sama sekali belum mendapatkan respon dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Di awal Tahun 2009 ini berita tentang acces to justice mulai mendapat tempat dalam kebijakan nasional pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Mekanisme Penerimaan Bantuan Hukum. Mesti tidak secara implisit menguraikan tentang tanggungjawab negara dalam PP ini, paling tidak kita mesti merespon positif komitmen pemerintah tersebut.
Di Kabupaten Sinjai, Bupati Sinjai juga telah mencanangkan Bantuan Hukum Gratis kepada orang miskin. Di Palembang, Tahun 2009 LBH Palembang, didukung PERADI dan KAI telah menandatangani MoU dengan Gubernur Sumatera Selatan terkait Bantuan Hukum Cuma-Cuma Lepada Kaum Miskin. Tidak ketinggalan Calon Walikota Macassar terpilih (Ilham Arif Sirajuddin) dalam Kampanyenya menjanjikan Bantuan Hukum Cuma-Cuma kepada kaum miskin, namun kita masih menunggu komitmen tersebut dikemudian hari.
Sekadar informasi LBH/YLBHI sejak didirikannya tahun 28 oktober 1969, telah menangani puluhan ribu kasus rakyat dalam rangka acces to justice for the foor. Pada 2006, YLBHI dengan 14 kantor dan 8 Pos merilis, telah menangani 2.830 kasus dan pengaduan masyarakat. Jika satu kasus, menghabiskan dana sekitar Rp 10 juta, maka sumbangan YLBHI untuk mewujudkan akses keadilan masyarakat kurang lebih Rp 2,8 miliar hanya untuk setahun. Belum lagi kalau kita berhitung jumlah penerima manfaat dari bantuan hukum Cuma-Cuma LBH-YLBHI jika 1 kasus stuktural dengan 300 Kepala Keluarga (KK), maka kalau diasumsikan 1 KK membawa 3 orang, tentu saja dalam satu kasus struktual LBH telah memberikan bantuan hukum gratis kepada 900 orang, Hanya untuk satu kasus ¡
Langkah kongrit yang dilakukan LBH-YLBHI yakni dengan melahirkan ribuan kader hukum di beberapa daerah. Contohnya Paralegal (orang yang diberi pengetahuan hukum dan memberi informasi hukum kepada masyarakat). Paralegal adalah bagian dari upaya menyediakan pelayanan jasa hukum, antara lain dilakukan melalui pemberdayaan sumber daya hukum masyarakat. Paralegal ini sangat penting untuk memasifkan dan memperluas akses masyarakat terhadap layanan dan bantuan hukum, termasuk memajukan gerakan masyarakat sipil dalam memperjuangkan hak asasi manusia
V. Penutup

Rapat kerja nacional LBH-YLBHI 4 – 6 Maret 2009, kembali mengagendakan pembahasan gerakan bantuan hukum menjadi agenda penting YLBHI bersama 14 Kantor di seluruh Indonesia. Gubernur DKI. Jakarta H. Fauzi Bowo dalam sambutannya pada Rakernas tersebut menyatakan “Pemerintah DKI. Jakarta akan terus mendukung perjuangan LBH, meski LBH seringkali menjadi kritik bagi pemerintah tapi kita berkomitmen bahwa apa yang diperjuangkan LBH adalah kebenaran”
Bantuan hukum Cuma-Cuma bukanlah sekadar konsep yang lahir begitu saja. Histori gerakan bantuan hukum yang digalang LBH-YLBHI adalah gerakan yang strukturalis (movement of structuralist) yang telah lama dipromosikan.
Bantuan hukum semestinya bukan hanya menjadi “kewajiban” LBH-YLBHI Namun Puluhan ribu Advokat yang tersebar di Indonesia semestinya memiliki tanggungjawab yang sama sebagaimana diatur dalam UU Advokat. Ironisnya, masih ada juga oknum advokat yang merekomendasikan pengaduan kasus yang masuk di Advokatnya kepada LBH.
Komitmen beberapa pemerintah seperti di Sumatera Selatan, Kabupaten Sinjai dan Makassar adalah contoh dari upaya memberikan layanan bantuan hukum Cuma-Cuma. Kita berharap komitmen tersebut dapat menjadi pilot Project dalam rangka memperluas akses keadilan kepada masyarakat miskin, siapa menyusul ¿
Penulis,
Direktur LBH Makassar
dan Dosen pada Fakultas Syariah dan Hukum
UIN MakassarTerimakasih telah mengenalku13 Agustus 2009 18:58YURA24 Nopember 2011 22:08

A. MUTTALIB

Malam ini kuhadapkan pandanganku di depan layar notebook, otak kecil mengantar jemariku bergerak sangat liar,menulis kisah nyata yang telah kualami dalam sempitnya ruang dan waktu. Aku tak tahu meski berbuat apa dan bagaimana. Biarkanlah suara-suara alam mengutuk kelakuanku padanya, biarkanlah kucing-kucing menghibur dirinya dengan meliuk-liuk di depan kamarku, biarkanlah mahluk disekitarku menertawai, aku pasrahkan segalanya hanya pada yang Maha Perkasa. Tuhan yang selama ini tidak sedikitpun aku merasa pernah dikhianatiNya dan tidak sedikitpun aku merasa pernah menjauh dariNya, karena aku yakin Allah lebih dekat dari urat nadiku bahkan ia telah menjadi bagian dari hari-hariku yang fana ini.

phinisi nusantara

Menguasai Bahari dengan Pinisi


PINISI. Suku Bugis-Makassar serta kisah pelaut Mandar dan Konjo di Sulawesi Selatan dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka juga memiliki kapal tradisional yang terbuat dari kayu dengan dua tiang layar utama dan tujuh layar, yaitu tiga di ujung, dua di depan, dan dua di belakang. Itulah pinisi. (Foto: Lina Herlina)



Menguasai Bahari dengan Pinisi

Rabu, 28 Desember 2011 08:02 WIB    
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/28/287454/290/101/Menguasai-Bahari-dengan-Pinisi

BASO tampak serius melihat anak buahnya sedang mengukur kayu yang dipakai untuk lambung kapal. Beberapa orang lainnya menggergaji kayu untuk membuat tiang layar. Kesibukan semacam itu sangat umum dijumpai di tempat kerja Haji Baso Muslim, seorang pengusaha kapal tradisional pinisi di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Di beberapa tempat, kesibukan membuat pinisi bahkan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Bulukumba.

Suku Bugis-Makassar serta kisah pelaut Mandar dan Konjo di Sulawesi Selatan dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka juga memiliki kapal tradisional yang terbuat dari kayu dengan dua tiang layar utama dan tujuh layar, yaitu tiga di ujung, dua di depan, dan dua di belakang. Itulah pinisi.

Tanggal 8 November lalu masuk sejarah pembuatan pinisi karena telah diluncurkan pinisi berukuran 10 meter x 50 meter, kedalaman 5 meter, dan berat 400 ton. Tonasenya 700 ton serta memiliki tiga dek/tingkat.

Pada tanggal tersebut pinisi besar itu memulai pelayaran perdana. Seorang pengusaha dari Polandia bernama Mister Robin telah memesan pinisi kepada Baso Muslim senilai Rp 4 miliar. Pengerjaan kapal membutuhkan waktu sembilan bulan dan 13 perajin. Baso Muslim menerangkan pinisi ukuran besar itu sudah dibuat sejak Oktober 2010.

"Bentuknya murni pinisi meski oleh pemesan rencananya akan dijadikan kapal wisata," jelas Baso.

Jauh sebelumnya sekitar 1999, Baso pernah membuat pinisi pesanan orang Jepang dengan ukuran 15 meter x 45 meter, dan tonase 1.000 ton.

"Sayangnya kapal tersebut tidak sempat melaut karena kontraknya batal. Alasannya yayasan yang memesan kapal tersebut bangkrut sehingga kapalnya dibongkar," kenang Baso.

Awalnya Baso ialah penjual bahan bangunan. Pekerjaan itu ditekuni sampai 1991. Ia berpindah profesi sebagai pembuat pinisi mengikuti jejak orangtuanya.

Hingga sekarang dia sudah membuat lebih dari 200 pinisi dengan berbagai ukuran. Pemesannya pun datang dari dalam dan luar negeri. Pinisi buatan Baso sudah dipesan pengusaha Belanda, Amerika, Prancis, Singapura, Malaysia, Spanyol, Jepang, Italia, dan Jerman.

"Sekarang kami sedang mengerjakan kapal pesanan dari orang Australia, Jerman, Italia, dan Belanda dengan ukuran yang berbeda-beda, mulai tonase kecil hingga sedang. Bentuknya juga sudah dimodifikasi sesuai permintaan pemesan," tambahnya.

Harganya pun bervariasi, mulai Rp 270 juta untuk ukuran kecil hingga Rp 2 miliar untuk ukuran sedang. Diakui Baso, hampir semua pelanggannya berasal dari luar negeri. Pemesan dalam negeri sangat sedikit.

"Kalaupun ada, mereka tidak memesan pinisi. Mereka pesan kapal nelayan," terangnya.

Pemesan dari luar negeri biasanya orang yang pernah berkunjung ke Sulawesi Selatan.

"Ada dari pemerintahan, pengusaha, maupun wisatawan."

Banyaknya pemesan dari luar negeri tidak berarti mereka menutup diri terhadap pelanggan dari dalam negeri. Para pelaku industri pinisi di Bulukumba masih sering menerima pesanan kapal dari Papua, Maluku, Jawa, Sumatra, dan Sulawesi sendiri. Selain kapal pesiar dan kapal pribadi, ada juga yang memesan kapal untuk dijual kembali.

Pembuatan pinisi tidak menggunakan kayu sembarangan. Dibutuhkan beberapa jenis kayu khusus seperti kayu besi, bitti, jati, ulin, nyamplong/pude, meranti, dan kandole.

Kayu besi dan bitti digunakan sebagai badan kapal. Jati dan ulin digunakan untuk pembuatan dek dan kamar-kamar di kapal, pude untuk tulang atau tiang-tiang, meranti untuk perabot seperti meja dan bangku, serta kayu kandole untuk pembuatan pasak.

Sayangnya, menurut Baso, kayu-kayu tersebut sekarang agak susah diperoleh.

Kayu besi, misalnya, harus mereka pesan dari Sulawesi Tenggara, jati dari Kabupaten Sinjai, dan ulin dari Kalimantan.

Tidak hanya itu, para perajin kapal di Bulukumba juga mengaku kesulitan memperoleh kayu yang berukuran besar.

"Dulu sebenarnya, dalam pembuatan pinisi harus menggunakan tujuh macam atau jenis kayu, tapi sekarang sudah tidak menggunakan tradisi tersebut. Sekarang sesuai dengan orderan dan permintaan pemilik atau pemesan kapal," ungkap Baso.

Alasannya sekarang ini industri pinisi tidak seperti dulu lagi. Di Pantai Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, kini hanya tersisa dia yang menjalankan bisnis pinisi.

Sebaliknya di Desa Tana Beru, masih ada beberapa orang yang melakoni industri pembuatan pinisi. Salah satunya ialah Arwin yang memiliki anak buah 18 orang, dan mayoritas berasal dari Desa Ara.

Masih banyaknya orang di Tana Beru menjalani bisnis pinisi sesuai dengan legenda yang berkembang turun-temurun. Legenda menyebutkan di situlah sumber atau awal lahirnya keahlian membuat pinisi.

"Hanya, di Tana Beru mereka tidak membuat kapal dengan tonase besar karena alasan kedalaman pantai," jelas Baso.

Dia pun terkenang kepada salah satu kawan sesama pengusaha pinisi bernama Abdullah yang bisa membuat kapal cukup besar. Namun, panjang kapal tidak bisa melebihi 39 meter karena pantai yang dangkal.

"Kalau pantai dangkal, akan sulit menurunkan kapal besar dan panjang ke laut," imbuhnya. (N-3)

Senin, 13 Februari 2012

bukti permulaan

Ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup”.
1. Menurut Pasal 17 KUHAP
Menyebutkan bahwa “perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Dalam penjelasan Pasal 17 tersebut disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan  dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Pendapat lain mengenai “bukti permulaan yang cukup” , yaitu menurut Darwan Prints, SH, dalam bukunya Hukum Acara Pidana dalam praktek, Penerbit Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, cetakan revisi tahun 2002, halaman 50-51.
Menurutnya bukti permulaan yang cukup adalah  :

2. Menurut Surat Keputusan Kapolri  SK No. Pol. SKEEP/04/I/1982.

Kapolri dalam surat keputusannya No. Pol.SKEEP/04/I1982,tanggal 18 Februari menentukan bahwa, bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara:
  • Laporan Polisi;
  • Berita Acara Pemeriksaan di TKP;
  • Laporan Hasil Penyelidikan;
  • Keterangan Saksi/saksi ahli; dan
  • Barang Bukti.
3. Menurut Drs. P. A. F Lamintang, SH
Bukti permulaan yang cukup dalam rumusan pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa Penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.
4. Menurut Rapat Kerja MAKEHJAPOL tanggal 21 Maret 1984
Bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal : Laporan Polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya.

Minggu, 12 Februari 2012

aborsi dosa besar

--^^ Surat dari Anak yang d'ABORSI ^^--

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarrakatuh

Teruntuk Bundaku tersayang...

Dear Bunda...

Bagaimana kabar bunda hari ini? Smoga bunda baik-baik saja...nanda juga di sini baik-baik saja bunda... Allah sayang banget deh sama nanda. Allah juga yang menyuruh nanda menulis surat ini untuk bunda, sebagai bukti cinta nanda sama bunda....

Bunda, ingin sekali nanda menyapa perempuan yang telah merelakan rahimnya untuk nanda diami walaupun hanya sesaat...

Bunda, sebenarnya nanda ingin lebih lama nebeng di rahim bunda, ruang yang kata Allah paling kokoh dan paling aman di dunia ini, tapi rupanya bunda tidak menginginkan kehadiran nanda, jadi sebagai anak yang baik, nanda pun rela menukarkan kehidupan nanda demi kebahagiaan bunda. Walaupun dulu, waktu bunda meluruhkan nanda, sakit banget bunda....badan nanda rasanya seperti tercabik-cabik... dan keluar sebagai gumpalan darah yang menjijikan apalagi hati nanda, nyeri, merasa seperti aib yang tidak dihargai dan tidak diinginkan.

Tapi nanda tidak kecewa kok bunda... karena dengan begitu, bunda telah mengantarkan nanda untuk bertemu dan dijaga oleh Allah bahkan nanda dirawat dengan penuh kasih sayang di dalam syurga Nya.

Bunda, nanda mau cerita, dulu nanda pernah menangis dan bertanya kepada Allah, mengapa bunda meluruhkan nanda saat nanda masih berupa wujud yang belum sempurna dan membiarkan nanda sendirian di sini? Apa bunda tidak sayang sama nanda? Bunda tidak ingin mencium nanda? Atau jangan-jangan karena nanti nanda rewel dan suka mengompol sembarangan? Lalu Allah bilang, bunda kamu malu sayang... kenapa bunda malu? karena dia takut kamu dilahirkan sebagai anak haram... anak haram itu apa ya Allah? Anak haram itu anak yang dilahirkan tanpa ayah... Nanda bingung dan bertanya lagi sama Allah, ya Allah, bukannya setiap anak itu pasti punya ayah dan ibu? Kecuali nabi Adam dan Isa? Allah yang Maha Tahu menjawab bahwa bunda dan ayah memproses nanda bukan dalam ikatan pernikahan yang syah dan Allah Ridhoi. Nanda semakin bingung dan akhirnya nanda putuskan untuk diam.

Bunda, nanda malu terus-terusan nanya sama Allah, walaupun Dia selalu menjawab semua pertanyaan nanda tapi nanda mau nanyanya sama bunda aja, pernikahan itu apa sih? Kenapa bunda tidak menikah saja dengan ayah? Kenapa bunda membuat nanda jadi anak haram dan mengapa bunda mengusir nanda dari rahim bunda dan tidak memberi kesempatan nanda hidup di dunia dan berbakti kepada bunda? Hehe,,,maaf ya bunda, nanda bawel banget... nanti saja, nanda tanyakan bunda kalau kita ketemu

Oh ya Bunda, suatu hari malaikat pernah mengajak jalan-jalan nanda ke tempat yang katanya bernama neraka. Tempat itu sangat menyeramkan dan sangat jauh berbeda dengan tempat tinggal nanda di syurga. Di situ banyak orang yang dibakar pake api lho bunda...minumnya juga pake nanah dan makannya buah-buahan aneh, banyak durinya...yang paling parah, ada perempuan yang ditusuk dan dibakar kaya sate gitu, serem banget deh bunda.

Lagi ngeri-ngerinya, tiba-tiba malaikat bilang sama nanda, Nak, kalau bunda dan ayahmu tidak bertaubat kelak di situlah tempatnya...di situlah orang yang berzina akan tinggal dan disiksa selamanya. Seketika itu nanda menangis dan berteriak-teriak memohon agar bunda dan ayah jangan dimasukkan ke situ.... nanda sayang bunda... nanda kangen dan ingin bertemu bunda... nanda ingin merasakan lembutnya belaian tangan bunda dan nanda ingin kita tinggal bersama di syurga... nanda takut, bunda dan ayah kesakitan seperti orang-orang itu...

Lalu, dengan lembut malaikat berkata... nak,kata Allah kalau kamu sayang, mau bertemu dan ingin ayah bundamu tinggal di syurga bersamamu, tulislah surat untuk mereka... sampaikan berita baik bahwa kamu tinggal di syurga dan ingin mereka ikut, ajaklah mereka bertaubat dan sampaikan juga kabar buruk, bahwa jika mereka tidak bertaubat mereka akan disiksa di neraka seperti orang-orang itu.

Saat mendengar itu, segera saja nanda menulis surat ini untuk bunda, menurut nanda Allah itu baik banget bunda.... Allah akan memaafkan semua kesalahan makhluk Nya asal mereka mau bertaubat nasuha... bunda taubat ya? Ajak ayah juga, nanti biar kita bisa kumpul bareng di sini... nanti nanda jemput bunda dan ayah di padang Mahsyar deh... nanda janji mau bawain minuman dan payung buat ayah dan bunda, soalnya kata Allah di sana panas banget bunda... antriannya juga panjang, semua orang sejak jaman nabi Adam kumpul disitu... tapi bunda jangan khawatir, Allah janji, walaupun rame kalo bunda dan ayah benar-benar bertaubat dan jadi orang yang baik, pasti nanda bisa ketemu kalian.

Bunda, kasih kesempatan buat nanda ya.... biar nanda bisa merasakan nikmatnya bertemu dan berbakti kepada orang tua, nanda juga mohon banget sama bunda...jangan sampai adik-adik nanda mengalami nasib yang sama dengan nanda, biarlah nanda saja yang merasakan sakitnya ketersia-siaan itu. Tolong ya bunda, kasih adik-adik kesempatan untuk hidup di dunia menemani dan merawat bunda saat bunda tua kelak.

Sudah dulu ya bunda... nanda mau main-main dulu di syurga.... nanda tunggu kedatangan ayah dan bunda di sini... nanda sayang banget sama bunda....muach!