Senin, 14 Mei 2012

Kabupaten Bulukumba

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kabupaten Bulukumba
Lambang Kabupaten Bulukumba.jpeg
Lambang Kabupaten Bulukumba
Motto: Bulukumba Berlayar (Bersih Lingkungan, Alam Yang Ramah)

-
Peta lokasi Kabupaten Bulukumba
Koordinat: -
Provinsi Sulawesi Selatan
Dasar hukum UU Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi
Tanggal -
Ibu kota Kecamatan Ujung Bulu
Pemerintahan
 - Bupati H. Zainuddin Hasan
 - Wakil Bupati H. Syamsuddin
 - APBD -
 - DAU Rp. 431.348.855.000,-(2011)[1]
Luas 1.154,67 km2
Populasi
 - Total 394.757 jiwa (sensus penduduk 2010)
 - Kepadatan 341,88 jiwa/km2
Demografi
 - Kode area telepon 0413
Pembagian administratif
 - Kecamatan 10
 - Kelurahan 147
 - Situs web http://www.bulukumbakab.go.id/
Kantor Kabupaten Bulukumba
Pusat pembuatan kapal pinisi Kecamatan Bonto Bahari, Bulukumba
Kapal feri yang menghubungkan Pelabuhan Bira, Bulukumba dan Pulau Selayar
Kabupaten Bulukumba adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Bulukumba. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.154,67 km² dan berpenduduk sebanyak 394.757 jiwa (berdasarkan sensus penduduk 2010). Kabupaten Bulukumba mempunyai 10 kecamatan, 24 kelurahan, serta 123 desa.

Daftar isi

Letak wilayah

Secara kewilayahan, Kabupaten Bulukumba berada pada kondisi empat dimensi, yakni dataran tinggi pada kaki Gunung Bawakaraeng – Lompobattang, dataran rendah, pantai dan laut lepas.
Kabupaten Bulukumba terletak di ujung bagian selatan ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan, terkenal dengan industri perahu phinisi yang banyak memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba 1.154,67 Km2 dengan jarak tempuh dari Kota Makassar sekitar 153 Km.

Letak geografis

Secara geografis Kabupaten Bulukumba terletak pada koordinat antara 5°20” sampai 5°40” Lintang Selatan dan 119°50” sampai 120°28” Bujur Timur.
Batas-batas wilayahnya adalah:

Sejarah singkat

Mitologi penamaan "Bulukumba", konon bersumber dari dua kata dalam bahasa Bugis yaitu "Bulu’ku" dan "Mupa" yang dalam bahasa Indonesia berarti "masih gunung milik saya atau tetap gunung milik saya".
Mitos ini pertama kali muncul pada abad ke–17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua kerajaan besar di Sulawesi yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Di pesisir pantai yang bernama "Tana Kongkong", di situlah utusan Raja Gowa dan Raja Bone bertemu, mereka berunding secara damai dan menetapkan batas wilayah pengaruh kerajaan masing-masing.
Bangkeng Buki' (secara harfiah berarti kaki bukit) yang merupakan barisan lereng bukit dari Gunung Lompobattang diklaim oleh pihak Kerajaan Gowa sebagai batas wilayah kekuasaannya mulai dari Kindang sampai ke wilayah bagian timur. Namun pihak Kerajaan Bone berkeras memertahankan Bangkeng Buki' sebagai wilayah kekuasaannya mulai dari barat sampai ke selatan.
Berawal dari peristiwa tersebut kemudian tercetuslah kalimat dalam bahasa Bugis "Bulu'kumupa" yang kemudian pada tingkatan dialek tertentu mengalami perubahan proses bunyi menjadi "Bulukumba".
Konon sejak itulah nama Bulukumba mulai ada dan hingga saat ini resmi menjadi sebuah kabupaten.
Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya Undang–Undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang Lambang Daerah.
Akhirnya setelah dilakukan seminar sehari pada tanggal 28 Maret 1994 dengan narasumber Prof. Dr. H. Ahmad Mattulada (ahli sejarah dan budaya), maka ditetapkanlah hari jadi Kabupaten Bulukumba, yaitu tanggal 4 Februari 1960 melalui Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1994.
Secara yuridis formal Kabupaten Bulukumba resmi menjadi daerah tingkat II setelah ditetapkan Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba oleh DPRD Kabupaten Bulukumba pada tanggal 4 Februari 1960 dan selanjutnya dilakukan pelantikan bupati pertama, yaitu Andi Patarai pada tanggal 12 Februari 1960.

Slogan Kabupaten Bulukumba

Paradigma kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan memberikan nuansa moralitas dalam sistem pemerintahan yang pada tatanan tertentu menjadi etika bagi struktur kehidupan masyarakat melalui satu prinsip "Mali’ siparappe, Tallang sipahua."
Ungkapan yang mencerminkan perpaduan dari dua dialek bahasa Bugis – Makassar tersebut merupakan gambaran sikap batin masyarakat Bulukumba untuk mengemban amanat persatuan di dalam mewujudkan keselamatan bersama demi terciptanya tujuan pembangunan lahir dan batin, material dan spiritual, dunia dan akhirat.
Nuansa moralitas ini pula yang mendasari lahirnya slogan pembangunan "Bulukumba Berlayar" yang mulai disosialisasikan pada bulan September 1994 dan disepakati penggunaannya pada tahun 1996. Konsepsi "Berlayar" sebagai moral pembangunan lahir batin mengandung filosofi yang cukup dalam serta memiliki kaitan kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan dengan masyarakat Bulukumba.
"Berlayar", merupakan sebuah akronim dari kalimat kausalitas yang berbunyi "Bersih Lingkungan, Alam Yang Ramah". Filosofi yang terkandung dalam slogan tersebut dilihat dari tiga sisi pijakan, yaitu sejarah, kebudayaan dan keagamaan.

Pijakan sejarah

Bulukumba lahir dari suatu proses perjuangan panjang yang mengorbankan harta, darah dan nyawa. Perlawanan rakyat Bulukumba terhadap kolonial Belanda dan Jepang menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 diawali dengan terbentuknya "barisan merah putih" dan "laskar brigade pemberontakan Bulukumba angkatan rakyat". Organisasi yang terkenal dalam sejarah perjuangan ini, melahirkan pejuang yang berani mati menerjang gelombang dan badai untuk merebut cita–cita kemerdekaan sebagai wujud tuntutan hak asasi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Pijakan kebudayaan

Dari sisi budaya, Bulukumba telah tampil menjadi sebuah "legenda modern" dalam kancah percaturan kebudayaan nasional, melalui industri budaya dalam bentuk perahu, baik itu perahu jenis phinisi, padewakkang, lambo, pajala, maupun jenis lepa–lepa yang telah berhasil mencuatkan nama Bulukumba di dunia internasional. Kata layar memiliki pemahaman terhadap adanya subjek yang bernama perahu sebagai suatu refleksi kreativitas masyarakat Bulukumba.

Pijakan Keagamaan

Masyarakat Bulukumba telah bersentuhan dengan ajaran agama Islam sejak awal abad ke–17 Masehi yang diperkirakan tahun 1605 M. Ajaran agama Islam ini dibawa oleh tiga ulama besar (waliyullah) dari Pulau Sumatera yang masing–masing bergelar Dato Tiro (Bulukumba), Dato Ribandang (Makassar) dan Dato Patimang (Luwu). Ajaran agama Islam yang berintikan tasawwuf ini menumbuhkan kesadaran religius bagi penganutnya dan menggerakkan sikap keyakinan mereka untuk berlaku zuhud, suci lahir batin, selamat dunia dan akhirat dalam kerangka tauhid "appasewang" (meng-Esa-kan Allah SWT).

Lambang daerah Kabupaten Bulukumba

Berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Bulukumba Nomor: 13 Tahun 1987, maka ditetapkanlah Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba dengan makna sebagai berikut:
1. Perisai Persegi Lima
Melambangkan sikap batin masyarakat Bulukumba yang teguh memertahankan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.
2. Padi dan Jagung
Melambangkan mata pencaharian utama dan merupakan makanan pokok masyarakat Bulukumba. Bulir padi sejumlah 17 bulir melambangkan tanggal 17 sebagai tanggal kemerdekaan RI. Daun jagung sejumlah 8 menandakan bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan RI. Kelopak buah jagung berjumlah 4 dan bunga buah jagung berjumlah 5 menandakan tahun 1945 sebagai tahun kemerdekaan RI.
3. Perahu Phinisi
Sebagai salah satu mahakarya ciri khas masyarakat Bulukumba, yang dikenal sebagai "Butta Panrita Lopi" atau daerah bermukimnya orang yang ahli dalam membuat perahu.
4. Layar perahu phinisi berjumlah 7 buah.
Melambangkan jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Bulukumba, tetapi sekarang sudah dimekarkan dari tujuh menjadi 10 kecamatan.
5. Tulisan aksara lontara di sisi perahu "Mali Siparappe, Tallang Sipahua".
Mencerminkan perpaduan dari dua dialek Bugis-Makassar yang melambangkan persatuan dan kesatuan dua suku besar yang ada di Kabupaten Bulukumba.
6. Dasar Biru
Mencerminkan bahwa Kabupaten Bulukumba merupakan daerah maritim.

10 Kecamatan

Awal terbentuknya, Kabupaten Bulukumba hanya terdiri atas tujuh kecamatan (Ujungbulu, Gangking, Bulukumpa, Bontobahari, Bontotiro, Kajang, Herlang), tetapi beberapa kecamatan kemudian dimekarkan dan kini “butta panrita lopi” sudah terdiri atas 10 kecamatan.
Ke-10 kecamatan tersebut adalah:
1. Kecamatan Ujungbulu (Ibukota Kabupaten)
2. Kecamatan Gantarang
3. Kecamatan Kindang
4. Kecamatan Rilau Ale
5. Kecamatan Bulukumpa
6. Kecamatan Ujungloe
7. Kecamatan Bontobahari
8. Kecamatan Bontotiro
9. Kecamatan Kajang
10. Kecamatan Herlang
Dari 10 kecamatan tersebut, tujuh di antaranya merupakan daerah pesisir sebagai sentra pengembangan pariwisata dan perikanan yaitu Kecamatan Gantarang, Kecamatan Ujungbulu, Kecamatan Ujung Loe, Kecamatan Bontobahari, Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang dan Kecamatan Herlang.
Tiga kecamatan lainnya tergolong sentra pengembangan pertanian dan perkebunan, yaitu Kecamatan Kindang, Kecamatan Rilau Ale dan Kecamatan Bulukumpa.

Daftar Bupati/wakil Bupati Bulukumba

1. Andi Patarai (12 Februari 1960 - 1966)
2. Andi Bakri Tandaramang (1966-1978)
3. Amien Situru (1978, Pjs)
4. HA Hasanuddin (1978-1980)
5. Malik Hambali (1980-1985)
6. HA Kube Dauda (1985-1990)
7. Andi Tamrin (1990-1995)
8. HA Patabai Pabokori (1995-2005)
9. AM Sukri Sappewali-H. Padasi (2005-2010)
10. Azikin Solthan (2010, Plt)
11. Zainuddin Hasan-Syamsuddin (2010-2015)

Topografi

Daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0 s/d 25 meter di atas permukaan laut meliputi tujuh kecamatan pesisir, yaitu: Kecamatan Gantarang, Kecamatan Ujungbulu, Kecamatan Ujung Loe, Kecamatan Bontobahari, Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang dan Kecamatan Herlang.

Morfologi bergelombang

Daerah bergelombang dengan ketinggian antara 25 s/d 100 meter dari permukaan laut, meliputi bagian dari Kecamatan Gantarang, Kecamatan Kindang, Kecamatan Bontobahari, Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang, Kecamatan Herlang, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Rilau Ale.

Morfologi perbukitan

Daerah perbukitan di Kabupaten Bulukumba terbentang mulai dari Barat ke utara dengan ketinggian 100 s/d di atas 500 meter dari permukaan laut meliputi bagian dari Kecamatan Kindang, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Rilau Ale.

Ketinggian

Wilayah Kabupaten Bulukumba lebih didominasi dengan keadaan topografi dataran rendah sampai bergelombang. Luas dataran rendah sampai bergelombang dan dataran tinggi hampir berimbang, yaitu jika dataran rendah sampai bergelombang mencapai sekitar 50,28% maka dataran tinggi mencapai 49,72%.

Klimatologi

Kabupaten Bulukumba mempunyai suhu rata-rata berkisar antara 23,82 °C – 27,68 °C. Suhu pada kisaran ini sangat cocok untuk pertanian tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Berdasarkan analisis Smith – Ferguson (tipe iklim diukur menurut bulan basah dan bulan kering) maka klasifikasi iklim di Kabupaten Bulukumba termasuk iklim lembap atau agak basah.
Kabupaten Bulukumba berada di sektor timur, musim gadu antara Oktober – Maret dan musim rendengan antara April – September. Terdapat 8 buah stasiun penakar hujan yang tersebar di beberapa kecamatan, yakni: stasiun Bettu, stasiun Bontonyeleng, stasiun Kajang, stasiun Batukaropa, stasiun Tanah Kongkong, stasiun Bontobahari, stasiun Bulo–bulo dan stasiun Herlang.
Daerah dengan curah hujan tertinggi terdapat pada wilayah barat laut dan timur sedangkan pada daerah tengah memiliki curah hujan sedang sedangkan pada bagian selatan curah hujannya rendah.
Curah hujan di Kabupaten Bulukumba sebagai berikut:
•Curah hujan antara 800 – 1000 mm/tahun, meliputi Kecamatan Ujungbulu, sebagian Gantarang, sebagian Ujung Loe dan sebagian besar Bontobahari.
•Curah hujan antara 1000 – 1500 mm/tahun, meliputi sebagian Gantarang, sebagian Ujung Loe dan sebagian Bontotiro.
•Curah hujan antara 1500 – 2000 mm/tahun, meliputi Kecamatan Gantarang, sebagian Rilau Ale, sebagian Ujung Loe, sebagian Kindang, sebagian Bulukumpa, sebagian Bontotiro, sebagian Herlang dan Kecamatan Kajang.
•Curah hujan di atas 2000 mm/tahun meliputi Kecamatan Kindang, Kecamatan Rilau Ale, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Herlang.

Jenis tanah

Tanah di Kabupaten Bulukumba didominasi jenis tanah latosol dan mediteran. Secara spesifik terdiri atas tanah alluvial hidromorf coklat kelabu dengan bahan induk endapan liat pasir terdapat dipesisir pantai dan sebagian di daratan bagian utara. Sedangkan tanah regosol dan mediteran terdapat pada daerah-daerah bergelombang sampai berbukit di wilayah bagian barat.

Hidrologi

Sungai di kabupaten Bulukumba ada 32 aliran yang terdiri dari sungai besar dan sungai kecil. Sungai-sungai ini mencapai panjang 603,50 km dan yang terpanjang adalah sungai Sangkala yakni 65,30 km, sedangkan yang terpendek adalah sungai Biroro yakni 1,50 km. Sungai-sungai ini mampu mengairi lahan sawah seluas 23.365 Ha.
SEJARAH SINGKAT KOTA MAKASSAR
Kota Makassar yang pernah bernama Ujung Pandang adalah wilayah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo yang terletak pada pesisir pantai sebelah barat semenanjung Sulawesi Selatan. Pada mulanya merupakan bandar kecil yang didiami oleh Suku Makassar dan Bugis yang dikenal sebagai pelaut ulung dengan perahu PINISI atau PALARI. Jika ditinjau dari sejarah Kerajaan Majapahit dibawah Raja HAYAM WURUK (1350-1389) dengan Maha Patih GAJAH MADA bertepatan dengan masa pemerintahan Raja Gowa ke-II TUMASALANGGA BARAYA (1345-1370), Makasar (Makassar) sudah dikenal dan tercantum dalam lembaran Syair 14 (4) dan (5) Kitab Negarakertagama karangan PRAPANCA (1364) sebagai Daerah ke-VI Kerajaan Majapahit di Sulawesi.

MASA SEJAK BERDIRINYA KERAJAAN GOWA DAN KERAJAAN TALLO
1. Kerajaan Gowa berdiri kira-kira tahun 1300 Masehi dengan raja yang pertama adalah seorang perempuan bernama TUMANURUNG (1320-
1345) yang kawin dengan KARAENG BAYO berasal dari Bonthain yang menurunkan raja-raja Gowa selanjutnya.

2. Pusat Kerajaan Gowa ini terletak diatas bukit Takka'bassia yang kemudian berubah namanya menjadi Tamalate, tempat ini menjadi pusat Kerajaan Gowa sampai kepada masa pemerintahan Raja Gowa ke-VIII I-PAKERE TAU TUNIJALLO RI PASSUKKI (1460-1510).

3. Dalam masa pemerintahan Raja Gowa ke-VI TUNATANGKA LOPI 1445-1460) terjadi pembagian kerajaan, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, masing-masing dipegang oleh kedua puteranya yaitu Kerajaan Gowa dipegang oleh BATARA GOWA TUNIAWANGA RI PARALEKKANNA sebagai Raja Gowa ke-VII (1460) dan Kerajaan Tallo dipegang oleh KARAENG LOE RI SERO sebagai Raja Tallo Pertama.

4. Raja Gowa ke-IX DAENG MATANRE KARAENG MANGNGUNTUNGI yang bergelar TUMAPA'RISI KALLONA kedua kerajaan Gowa dan Tallo disatukan kembali dan diperintah oleh Raja Gowa, dan yang menjadi Mangkubumi adalah Raja Tallo. Kedua kerajaan ini sering disebut Kerajaan Makassar.

5. Pembangunan Benteng Somba Opu dari tanah liat pada tahun 1525 oleh Raja Gowa ke-IX TUMAPA'RISI KALLONNA (1510-1546). Dalam benteng ini dibanguna istana raja Gowa. Makassar (Kerajaan Gowa) menjadi pusat bandar niaga dengan syahbandar adalah DAENG PAMMATE yang diangkat pada tahun 1538. Sejak itu Makassar menjadi Ibu Negeri, dengan bertitik pusat pada Kota Raja Somba Opu.

6. Raja Gowa ke-X I-MANRIWAGAU DAENG BONTO KARAENG LAKIUNG TUNIPALLANGGA ULAWENG (1546-1565) Benteng Somba Opu disempurnakan dan dibangun dari batu bata.

7. Benteng Jumpandang (Ujung Pandang) yang mulai didirikan pada tahun 1545 pada masa pemerintahan TUMAPA'RISI KALLONNA kemudian dilanjutkan oleh TUNIPALLANGGA ULAWENG, maka oleh Raja Gowa SULTAN ALAUDDIN pada tanggal 9 Agustus 1634 membuat dinding tembok Benteng Ujung Pandang, dan pada tanggal 23 Juni 1635 dibuat lagi dinding tembok kedua dekat pintu gerbang sehingga menyerupai seekor penyu.

8. Raja Gowa ke-XIV I-MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN memerintah mulai tahun 1593-1639 dengan Mangkubumi I-MAL-LING

Pesan Lestari dari Negeri Ammatoa

Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, PASANG. Bagaimana masyarakat adat kajang mengimplementasi ajaran Pasang kaitanya dengan pelestarian lingkungan hidup?..

Secara harfiah kalau diartikan, Pasang berarti ”pesan” tapi kalau di kalangan masyarakat adat Kajang, Pasang mengandung makna yang lebih dari sekadar sebuah pesan. Eksistensi Pasang sifatnya menjadi sebuah keharusan dan kewajiban untuk dilaksanakan menjadikan posisinya sama halnya dengan nilai wahyu dan atau sunnah yang dikenal dalam ajaran agama-agama samawi.

Hal yang membuktikan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasang langsung mendapatkan sanksi yang berlaku selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di akhirat nantinya. Masyarakat Kajang dalam mengelola sumber daya hutan tidak terlepas dari kepercayaannya terhadap ajaran pasang. Masyarakat Kajang memahami bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya.

Selain kepercayaanya, faktor yang berpengaruh untuk menjaga keseimbangan sumberdaya hutan adalah utuhnya pandangan mereka terhadap asal mula leluhurnya bahwa manusia berkembang dimulai dari Amma Toa pertama sebagai Tomanurung dan dunia meluas dimulai dari hutan Tombolo (Tana Toa), dimana manusia pertama itu (Amma Toa) “turun” di hutan Tombolo. Itulah keyakinan mereka terhadap leluhurnya yang hingga saat ini masih melekat dipikiran dan hati sanubari warga masyarakat Kajang.

Bagi orang Kajang diyakini bahwa merawat hutan adalah merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Mereka yakin dan percaya bahwa di sekitarnya terhadap sesuatu kekuatan “supernatural” yang bagi manusia tidak mampu menghadapinya. Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupannya.

Dengan modal Pasang tersebut, masyarakat adat kajang menjadi bukti betapa kuatnya kearifan lokal masyarakat adat Kajang dalam pengelolaan hutan. ”Dengan Pasang inilah semua bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan diatur dengan jelas termasuk menjadi alat pengawasan serta kontrol atas semua aktivitas yang berhubungan dengan kehutanan,”kata Abdul Syukur Ahmad aktivis Koalisi Ornop Untuk Hutan Sulawesi Selatan (KONSTAN).

Kondisi tersebut yang menjadikan Kajang memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri untuk menjadi pembelajaran bagi masyarakat-masyarakat adat lainnya di Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia dalam membangun kehutanan yang adil dan lestari.
Indikator dari lestarinya hutan di Kajang tidak terlepas dengan kepatutan dan penghormatan atas hukum-hukum adat yang dituangkan dalam Pasang.

Arti Lingkungan Bagi Masyarakat Kajang

Persepsi masyarakat Kajang terhadap alam, bahwa di alam ini ada kekuatan-kekuatan dan kekuatan-kekuatan itu ada pada benda-benda, pohon besar dan lain-lain. Kekuatan-kekuatan alam itu ada pada gejala atau peristiwa alam yang digerakkan oleh dewa-dewa seperti kekuatan-kekuatan yang ada di hutan.

Dengan demikian bahwa persepsi masyarakat Kajang terhadap sumberdaya alam ini (termasuk hutan), menunjukkan adanya hubungan antara kepercayaan dengan keberadaan hutan dan prinsip hidup sederhana (tallasa kamase-masea).

Kawasan hutan adat Kajang kaya akan potensi berbagai keanekaragan hayati seperti jenis kayu dan hasil-hasil hutan bukan kayu lainnya seperti rotan, kayu bitti, lebah madu dan berbagai jenis tanaman lainnya. Selain itu kawasan hutan adat Kajang juga memiliki beberapa jenis hewan antara lain rusa, babi, kera, kus-kus serta beberapa jenis burung yang hingga kini masih tetap terjaga.

Fungsi “Patuntung” dalam Pengelolaan Hutan Adat Kajang

Selain ajaran Pasang, masyarakat yang kesehariannya serba berpakian hitam ini, juga memiliki aturan adat yang disebut Patuntung. Patuntung adalah sebuah aturan adat yang berhubungan dengan upaya-upaya untuk mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari.

Hal tersebut tidak terlepas dari keyakinan masyarakat adat Kajang bahwa hutan adalah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam melangsungkan kehidupan mereka. Terbukanya akses dengan masyarakat luar, Patuntung menjadi sangat penting dalam menjaga kelestarian ekosistem dan mempertahankan fungsi-fungsi hutan adat Kajang karena disamping pengaturannya yang terkait dengan pengelolaan hutan, Patuntung juga memiliki nilai ritual. “Oleh karena itu, perlakuan masyarakat adat Kajang terhadap hutan tidak semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi untuk kepentingan menjaga keseimbangan ekosistem dan kepentingan ritualnya,”jelas Ollong panggilan akrab Abdul Syukur.

Pengaruh kehidupan modern, bagi masyarakat adat Kajang juga memiliki pengetahuan bahwa kayu atau hutan adalah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Namun mereka masih sangat menghormati dan menjunjung tinggi peranan hutan sebagai hal yang sangat sakral. Karena itu prilaku keseharian masyarakat adat Kajang masih diwarnai oleh tindakan yang mementingkan keseimbangan antara spritual dan ekonomi.

Diungkapkan, berdasarkan hasil diskusi antara penggiat hutan berbasis masyarakat se-Sulawesi Selatan yang di fasilitasi oleh KONSTAN di rumah Bapak AMMATOA Kajang beberapa waktu lalu diketahui pembagian fungsi hutan berdasarkan kepercayaan Patuntung yaitu hutan dipandang memiliki fungsi ritual sehingga bagi masyarakat Adat kayang hutan dipercaya sebagai sesuatu yang sakral.

Untuk fungsi ritual tersebut, beberapa upacara-upacara terpenting masyarakat adat Kajang dilakukan dalam kawasan hutan seperti upacara pelantikan AMMATOA, upacara Attunu Passau (upacara kutukan dari pelanggar adat), upacara pelepasan nazar dan beberapa upacara lainnya.

Selain itu, bagi masyarakat adat Kajang juga memfungsikan hutan sebagai pengatur tata air. Fungsi itu terutama untuk mengatur turunnya hujan. Penggiat hutan kemasyarakatan kadang menyebut konsep tersebut dengan nama Community Base Forest Management (CBFM).

Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk masyarakat adat Kajang telah lama mengembangkan konsep pengelolaan hutan yang dibagi berdasarkan zona-zona tertentu seperti Rabbang Seppang (batas sempit) adalah zona lindung. Zona tersebut tidak boleh diganggu bahkan masuk sembarangan dalam kawasan itu tidak diperbolehkan sama sekali.

Kemudian Rabbang Laura (batas luas) adalah zona wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari misalnya untuk wilayah perkampungan, pertanian, perkebunan, sebagai lokasi pengembalaan ternak.

Wilayah komunitas adat kajang bisa dicapai dengan menempuh perjalanan sekitar 3 jam perjalanan dari Kota Makassar. Semua pengunjung disyaratkan mengenakan pakian serba hitam serta diwajibkan mematuhi semua peraturan adat yang telah ditetapkan Ketua Adat, AMMATOA.

Masyakat Adat Kajang secara geografis terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa antara lain Desa Tana Towa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan sebelah Utara berbatasan dengan Tuli, Timur berbatasan dengan Limba, sebelah Selatan berbatasan dengan Seppa dan sebelah Barat berbatasan dengan Doro.

Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba diantaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe. Perkembangan masyarakat adat Kajang hingga saat ini menutur data statistik pemerintah Kabupaten Bulukumba diperkirakan sekitar 44.866 jiwa atau 11,83% dari total penduduk Kabupaten Bulukumba.


Asal Usul Kajang

Berdasarkan sejarah asal-usul. Masyarakat Adat Kajang menetapkan bahwa sejak manusia ada masyarakat adat Kajang sudah ada di muka bumi Penegasan sejarah asal usul tersebut ditetapkan dalam Pasang bahwa Yang Maha Kuasa menciptakan bumi Dia bingung dan gelisah karena ada bumi tapi tidak ada penghuninya sehingga Ammatoa menghadirkan adat lima..

Adat lima tersebut terdiri atas masing-masing; Galla Pantama, Galla Puto, Galla Lombok, Galla Kajang dan Galla Malleleng. Kehadiran adat lima tersebut memberi arti penting bagi Ammatoa sendiri karena didukung oleh kontribusi pemikiran dan teman diskusi untuk bumi selanjutnya.

Lahirnya adat lima yang dibentuk oleh Ammatoa dengan peran dan tanggung jawab serta keahliannya masing-masing, membutuhkan struktur baru atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan putra mahkota.

Dalam perjalanannya, kemudian lahirlah putra mahkota atau Moncong Bola yang berasal dari Labbiria atau Karaeng. Selanjutnya muncullah Sullehatan dan seterusnya struktur lembaga adat Kajang semakin lama semakin bertambah sesuai kebutuhan komunitas Masyarakat Adat Kajang sampai berjumlah 26 struktur yang memiliki berbagai fungsi dan wewenang masing-masing.

Dengan struktur dan pembagian kewenangan yang sangat jelas tersebut, membuktikan bahwa masyarakat adat Kajang sejak dahulu kala sudah mengenal sistem pemerintahan yang sangat kuat. Sejarah telah membuktikan bahwa sejak beberapa abad yang silam, masyarakat adat Kajang di bawah Kepemimpinan Ammatoa telah membangun hubungan-hubungan dengan masyarakat luar diantaranya dengan kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan seperti Gowa, Luwu dan Bone.

Pengalaman dalam membangun kerjasama tersebut, sekarang ini secara langsung bisa di lihat dengan aksebilitas masyarakat adat Kajang dengan pihak luar semakin mudah dan bisa kita saksikan sebagian pemuda-pemudi Kajang keluar untuk urusan studi dan berbagai aktivis lainya.

Sekedar diketahui bahwa kawasan Hutan Tana Towa Kajang, berdasarkan Kepmenhut Nomor: 504/Kpts-II/1997 terdiri atas 331,17 ha. Kawasan hutan di Tana Towa Kajang ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas, hal tersebut bisa dibaca dalam buku Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1999.

Dengan status kawasan yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut secara otomatis akan berbenturan dengan pengurusan kawasan hutan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Kajang dan sudah berlangsung secara turun-temurun bahkan sebelum negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk, dimana sudah ada kearifan-kearifan lokal masyarakat adat Kajang)***.

arham dahari