Senin, 27 Februari 2012

mantan direktur LBH makassar berkata

A. MUTTALIB
          TEGAKKAN KEADILAN HINGGA NAFAS TERAKHIR KUHEMBUSKAN
      
    
      26 Nopember 2011 21:17SESAT PIKIR UNDANG-UNDANGBANTUAN HUKUM
OlehAbdul Muttalib

A.   PENDAHULUANTanggal4 Oktober 2011, Undang-Undang (UU) Bantuan Hukum telah disahkan oleh DPR.Setelah beberapa tahun terjadi tarik ulur antara Pemerintah, DPR dan AktivisPekerja Bantuan Hukum, akhirnya UU ini disahkan. Dengah disahkannya UU ini,maka penyelenggaraan Bantuan Hukum akan dikelola oleh Menteri Hukum dan HAMdengan berbagai kewenangan yang akan dimiliki. Menteri Hukum dan HAM juga telahmempersiapkan pelaksanaan Bantuan Hukum ini akan dimulai pada 2013 mendatang.Pertanyaan mendasar seberapa efektifkah, kesiapan penyelenggaraan bantuan hukumini berlangsung dibawah tanggungjawab Menteri Hukum dan HAMB.   PENYELENGARA BANTUAN HUKUMDalamPasal 6 UU Bantuan Hukum menyatakan ; Ayat (2) PemberianBantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum diselenggarakan oleh Menteri dandilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini. Kewenangan sebagaipenyelenggara Pemberian Bantuan Hukum diperkuat dengan mandat sebagaimanatertuang dalam ayat (3) yakni ; Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)bertugas: menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan BantuanHukum; menyusun dan menetapkan Standar BantuanHukum berdasarkan asas-asas pemberianbantuan hukum; menyusun rencana anggaran BantuanHukum; mengelola anggaran Bantuan Hukum secara efektif,efisien, transparan, dan akuntabel; dan menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan bantuanhukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran. Dengan kata lain seluruhperangkat penyelenggaran Bantuan Hukum sepenuhnya menjadi kewenanganKementerian Hukum dan HAM.KehadiranUU Bantuan Hukum ini tentu saja menjadi supportsystem  negara dalam rangka mendorongacces to justice dan pemenuhanhak-hak konstitusional setiap warga negara. Namun di satu sisi UU ini cenderungmenjadi sangat “ekslusif serta sarat kepentingan” karena seluruh rencanapenyelenggaraanya akan dikelola oleh Kementerian dan kemungkinan akandijalankan di salah satu unit di Kementrian tersebut, entah akan dikelola unitBadan Pembinaan Hukum Nasional atau Badan Pengembangan Sumber Daya ManusiaHukum dan HAM. Dalam konteks kelembagaan (GoverningBody) Bantuan Hukum ini sangat bertolak belakang dari rancangan yangdisodorkan oleh masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untukBantuan Hukum (KUBAH) yang mengusulkan KomisiNasional Bantuan Hukum atau LembagaBantuan Hukum Nasional sebagai penyelenggara Bantuan Hukum dimana badan tersebutmerupakan lembaga yang mandiri/independen dan tidak mudah diintervensi olehkekuasaan serta diisi oleh kalangan Akademisi, Pemerintah, anggota masyarakatyang mempunyai pengalaman dan pengetahuan dibidang bantuan hukum. Di banyaknegara di dunia mengamanatkan dan mensyaratkan pembentukan lembaga yangmengatur, menetapkan dan kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum diserahkanpada otoritas yang independen, misalnya di Belanda dan Australia menggunakan Legal Aid Commmision (LAC), Taiwanmenggunakan Legal Aid Foundation (LAF), AfrikaSelatan menggunakan Legal Aid Board (LAB),Amerika menggunakan Legal ServiceCorporation (LSC), Inggris dan Wales yang menggunakan nama Legal Service Commission (LSC).Entahdengan pertimbangan apa sehingga DPR RI tidak mengusulkan lembaga independenseperti di beberapa negara tersebut, sebaliknya DPR menunjuk kementerian yangbeberapa tahun terakhir dililit berbagai persoalan kinerja. DPR yang selaluberkelit dengan alasan klasik bahwa karakter Indonesia berbeda dengan negaralain sehingga tidak perlu mencontoh negara-negara lain dalam membuat regulasi.Akibatnya, Indonesia memang benar-benar berbeda dengan negara lain, regulasidibuat, regulasinya dilanggar sendiri oleh pembuatnya, regulasinya dapatdiatur, regulasi pun bisa dipersoalkan bahkan memanggil siapapun berdasarkankewenangannya.C.   BANTUAN HUKUM YANG DIPANDANG MURAHKarenadalam UU ini menyebutkan bahwa Pemberi Bantuan Hukum adalah LembagaBantuanHukumatau OrganisasiKemasyarakatanyang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang ini (Pasal 1 ayat 3), maka dapatdipastikan kelak akan banyak bermunculan LBH dibawah naungan OrganisasiMasyarakat (Ormas) jika saja mekanisme verifikasi dan akreditasi berdasarkanPasal 8 UU ini tidak dilakukan secara profesional, ketat, transparan danakuntabel. Begitu “sederhananya” yang dimaksud Pemberi Bantuan Hukum dalam UUini, syarat-syarat yang ditetapkan sangat pula sederhana, yakni ;(a) berbadan hukum; (b)terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini; (c) memilikikantor atau sekretariat yang tetap;(d) memiliki pengurus; dan (e) memiliki program bantuan hukum.Artinya, apapun ormas tersebut jika membentuk unit LBH tidak akan mendapatkanbanyak kesulitan untuk lolos syarat menjadi pemberi bantuan hukum sebabsyarat-syarat yang ditetapkan UU ini relatif mudah terkecuali syaratAkreditasi, itupun jika Tim Akreditasi Penyelenggara Bantuan Hukum (KementerianHukum dan HAM) tidak diisi oleh orang-orang yang kapabel, maka syarat inipunbisa menjadi mudah. KarenaUU ini menegaskan bantuan hukum dalam konteks litigasi dan non litigasi sertaprogram, namun tidak mengatur mekanisme syarat-syarat Akreditasi yang ketatutamanya soal jumlah advokat dan non Advokat di Lembaga Pemberi Bantuan Hukum makaini menjadi peluang besar terjadinya “permainan proyek bantuan hukum”, sangatdimungkinkan akan dimanfaatkan pihak-pihak yang hanya berkepentingan mengejarproyek.Persoalanlain yang bisa menjadi masalah dalam pelaksanaan UU karena UU ini tidakmempertegas definisi Pemberi Bantuan Hukum sementara dalam konteks penangananperkara litigasi, Pengadilan sangat ketat memverifikasi Kartu Advokat, maka UUini menjadi latah jika Pemberi Bantuan Hukum justru tidak mengerti UU Advokat.Pernyataan Menteri Hukum dan HAM setelah UU ini disahkan, meminta agarPerguruan Tinggi segera membentuk LBH-LBH merupakan pernyataan yang amatenteng. Seolah-olah membentuk LBH adalah pekerjaan mudah, membentuk karakterPekerja Bantuan Hukum adalah pekerjaan enteng tanpa memikirkan aspek-aspek lainterkait pelaksanaan pemberian bantuan hukum. Timbul kesan bahwa seolah BantuanHukum adalah Barang Murah. PadahalPresiden SBY, dalam Pidato Sambutannya pada Pembukaan Pertemuan Puncak AksesTerhadap Keadilan dan Bantuan Hukum, Tahun 2006, menyatakan : “apa yangdilakukan YLBHI sekarang ini, dalam forum ini beserta outputnya harus kitapandang dari dua sisi, solving theproblems and upholding the law and lay down foundation, untuk bantuanhukum, untuk akses terhadap keadilan dan lain-lain yang berkaitan dengan itu diwaktu yang akan datang”. Presiden justru memandang Bantuan Hukum secara lebihluas dan tidak menilai secara sederhana.Sifatsetengah hati Undang-Undang ini dipertegas lagi dengan penegasan Pasal 5 yangmenegaskan bahwa yang dimaksud penerima bantuan hukum adalah meliputihak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan danberusaha, dan/atau perumahan.  Pasal inisecara tegas tidak mengakomodir bantuan hukum terhadap kasus-kasus tertentuyang karakter kasusnya struktural.D.    PENUTUP
Memangbelum saatnya mengkritisi pelaksanaan dari UU Bantuan Hukum karena aturanteknisnya belum dikeluarkan tapi semangat Pemerintahan Presiden SBY dalammendorong acces to justice dapatdibahasakan setengah hati karena dengan tidak independennya penyelenggaraanBantuan Hukum bisa berdampak pada implementasi acces to justice itu sendiri yang sewajarnya bisa mengakomodirkepentingan pencari keadilan dari berbagai aspek ; mudah diakses (accesible),terjangkau (avaliability), berkelanjutan (sustainable) dan dapatdipertanggungjawab (credible) dan akuntabel.

Penulis,Advokat,Mantan Direktur LBH Makassar Media files video-play.mp4 (MPEG-4 File Format, 0 bytes)26 Nopember 2011 21:32Bila kita sadari,
betapa kecilnya diri kita
bila kita sadari,
betapa lemahnya diri kita
bila kita sadari,
betapa luas ruang dan waktu
bila kita sadari,
kita bukanlah siapa-siapa dihadapan Allah Yang Maha Kuasa
bila kita sadari,
tak pantas kita bersikap angkuh kepada sesama

 sebesar manakah kita dengan alam semesta???AKSES KEADILAN UNTUK RAKYAT13 Agustus 2009 23:31Oleh Abdul Muttalib

A. PENGANTAR
“LBH telah merancang program-program pembaruan hukum yang amat ambisius, maka segeralah LBH menjadi organisasi pembaharu yang terkemuka di Indonesia” (Daniel Lev)

38 Tahun yang lalu, DR. Iur. Adnan Buyung Nasution, SH bersama beberapa advokat yang tergabung dalam Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI).
Pemikiran yang melatarbelakangi pendirian YLBHI tidak lain adalah semangat untuk memberikan layanan bantuan hukum kepada kaum miskin yang tertindas. Pada masa itu tentu saja aroma penindasan dan perampasan hak-hak hukum kaum marginal menjadi tontonan dan penguasa memperlihatkan hegemoninya dengan jargon – jargon “atas nama hukum dan atas nama kekuasaan”.
Kehadiran YLBHI yang kemudian melahirkan sel-selnya yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di 14 Propinsi di Indonesia praktis menjawab kegelisahan rakyat yang selama ini mendambakan apa yang disebut acces to justice (akses terhadap keadilan).
Fakta membuktikan bahwa eksistensi LBH-YLBHI telah mampu memberikan layanan bantuan hukum sejak dilahirkan hingga kini. Bahkan memperluas ranah perjuangannya tidak semata-mata pada penegakan hokum tetapi lebih dari itu yakni menjawab realitas-realitas social yang terjadi di masyarakat. LBH –YLBHI telah mampu mereduksi pemikiran hokum secara general dan mampu meletakkan pondasi Bantuan Hukum dalam berbagai perspektif. Dalam tinjauan ini, logika sederhana yang diusung LBH-YLBHI, bahwa transformasi social yang terjadi selama ini di masyarakat adalah bagian dari lemahnya struktur social. Sehingga kemudian memperluas gerakan bantuan hokum yang digalakkan melalui terobosan-terobosan dengan mengkampanyekan dan menggalang kekuatan dengan isu Penegakan Hukum dan Perlidungan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan asumsi bahwa penegakan hokum dan perlidungan HAM adalah dua sisi mata uang.
Tekonologi hukum yang dirancang LBH-YLBHI tidak hanya itu, bahkan diperluas lagi dengan melakukan pendekatan dan gerakan bantuan hukum dari perspektif kemiskinan structural. Bagi LBH-YLBHI kemiskinan merupakan salah satu persoalan krusial yang melahirkan masalah hokum sehingga tinjauan LBH pun dalam kerangka ini memandang dari seluruh aspek sosio, politik dan cultural, yang melahirkan idiologi gerakan LBH yakni Bantuan Hukum Struktural (BHS). Konsep inilah yang dikenal banyak kalangan hokum sebagai “gerakan hukum fundamental”.
Pada beberapa dekade para Reformasi Pola gerakan BHS dilahirkan guna menjawab sikap pemerintah melalui gaya militeristik yang represif. Hingga terjadi keresahan sosial dengan cara penggusuran, penyiksaan, penculikan, penahanan dan bila perlu dilakukan rekayasa perkara di muka pengadilan. Kebanyakan hal ini diperaktekkan pada negara di Dunia Ketiga yang menganut dan memperaktekkan korporatisme. Dalam Pandangan Marxist menyatakan bahwa negara adalah alat kekuasaan untuk menindas dari kelas dominan, atau dalam rumusan Engels, negara adalah corceive instrument (alat pemaksa) dari kelas dominan. Salah satu varian dari pandangan Marxist yang nampak berpengaruh adalah pandangan Gramscian. Dalam pandangan ini negara bukan saja menggunakan “ aparat repressif” untuk menguasai masyarakat, tetapi juga menggunakan “idiologi” untuk menghegomoni rakyat.


B. ACCES TO JUSTICE ADALAH HAK ASASI
Bantuan Hukum merupakan isu krusial karena secara paradigmatik hak atas bantuan hukum merupakan hak asasi manusia, sebagaimana telah diatur di dalam norma dan standar internasional HAM. Banyak standar hak asasi internasional yang menekankan pentingnya akses masyarakat atas bantuan hukum. DUHAM dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik – telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005 – menjamin persamaan hak setiap orang dimuka hukum tanpa diskriminasi dan berhak atas perlindungan hukum.
Contoh lain, dalam Program Aksi yang diadopsi Konferensi Dunia Ke-2 Pemberantasan Rasisme dan Diskriminasi Rasial 1983, diwajibkan bagi Negara untuk menyediakan bantuan hukum bagi korban yang berasal dari kelompok masyarakat miskin yang menjadi korban diskriminasi untuk memperoleh keadilan dan reparasi melalui badan-badan peradilan. Contoh lain, UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (“the Beijing Rules”), yang menyatakan perlunya bantuan hukum cuma-cuma pada anak-anak yang bermasalah dengan hokum; UN Declaration on the Rights of Disabled Persons yang menyatakan perlunya bantuan hukum yang berkualitas pada orang disfable (disable persons).

Di level nasional, bantuan hukum juga diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Walaupun tidak secara eksplisit diatur tentang bantuan hukum, namun UUD 1945 prinsip-prinsip negara hukum, pemenuhan keadilan dan hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak asasi setiap warga negara untuk mendapat bantuan hukum. Selanjutnya, dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, ditegaskan, ”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.
Bagian Keempat UU HAM menjamin hak setiap orang untuk memperoleh keadilan. Pasal 18 ayat (4) UU ini menjamin hak setiap orang yang diperiksa untuk mendapat bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam UUD 1945 dan UU 39/1999 dimandatkan perlindungan, pemajuan, penegakan hak asasi manusia merupakan tanggungjawab pemerintah. Namun sayangnya sampai sekarang belum nampak ada kemauan politik dan kebijakan konkret dari pemerintah untuk mewujudkan tanggungjawab dalam promosi dan pemenuhan hak atas bantuan hukum utamanya bagi masyarakat miskin. Hal ini bisa dilihat dari tiga hal penting.
Pertama, di level substansi hukum, tidak ada UU yang khusus mengatur tentang Bantuan Hukum, bahkan dalam Pertemuan Puncak Bantuan Hukum, pada April 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membuka acara tersebut, belum menyampaikan rencana pemerintah untuk menerbitkan UU Bantuan Hukum. Presiden hanya menyinggung bahwa inisiasi LBH untuk mengajukan RUU Bantuan Hukum, dipersilahkan diajukan ke DPR, selain ke pemerintah. Dalam perkembangannya, bantuan Hukum dimuat dalam Pasal 22 UU 18/2003 tentang Advokat, namun pengaturan ini tidak cukup dan tidak sesuai dengan makna bantuan hukum sebagai hak asasi manusia. Bantuan Hukum dalam UU Advokat tidak lebih sebagai ”charity” atau ”aksi belas kasihan” nya advokat, bukan sebagai tanggungjawab negara. Ironisnya, ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum yang seharusnya diatur melalui Peraturan Pemerintah hingga saat ini belum diterbitkan. Padahal konstitusi UUD 1945 jelas menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah (vide Pasal 28I ayat (4)
Permasalahan dan agenda pembenahan sistem dan politik hukum. Namun demikian tidak secara khusus dimuat agenda mempromosikan dan memenuhi hak masyarakat miskin atas bantuan hukum, dalam pembangunan nasional tahun 2004 – 2009. Ketiga, di level budaya hukum, pemerintah tidak melakukan pendidikan hukum yang memadai untuk mengembangkan daya kritis masyarakat, sehingga mereka semakin memahami hak-hak nya dan mampu memperjuangkan hak-haknya tersebut. Faktor lain yang mendorong pentingnya bantuan hukum dimasukkan dalam RPJM adalah kuantitas masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum. Sedikitnya 28.000 orang yang mendapat bantuan hukum dari LBH-YLBHI selama satu tahun. Angka ini akan semakin besar jika ditambahkan dengan jumlah klien dari LBH kampus, LBH partai politik, LBH ormas, posbakum.
Di Indonesia, tidak ada sepeserpun secara khusus yang dialokasikan APBN untuk membantu organisasi-organisasi lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi advokat dalam menjalankan bantuan hukum. Sebagai ilustrasi, di Afrika Selatan, pada 2004/2005 pemerintah negeri ini mengalokasikan USD 71,446,868 untuk dana bantuan hukum yang diberikan ke masyarakat dan organisasi penyedia bantuan hukum. Tahun anggaran berikutnya naik menjadi USD 73,790,087 (2005/2006) dan kembali naik sebesar USD 77,734,666 (2006/2007) atau jika dinilai dengan rupiah, Rp 723.709.740.460 (dengan kurs 1USD = Rp 9.310). APBN hanya dialokasikan untuk memberkas, memeriksa orang, menuntut dan memvonis orang, tapi tidak ada alokasi bahkan minimum untuk lembaga-lembaga yang melakukan pembelaan dalam proses peradilan. Padahal, sering kita dengan jargon supremasi hukum, keadilan atau peradilan yang fair. Belum jelas benar, apakah alokasi anggaran untuk program peningkatan pelayanan dan bantuan hukum memang benar-benar ada (Laporan UNDP dalam RPJM Bantuan Hukum Tahun 2007).
Tahun 2005 LBH-YLBHI merusmuskan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum (RUUBH). Sangat disayangkan RUU ini yang semestinya telah menjadi agenda legislasi di DPR sama sekali belum mendapatkan respon dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Di awal Tahun 2009 ini berita tentang acces to justice mulai mendapat tempat dalam kebijakan nasional pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Mekanisme Penerimaan Bantuan Hukum. Mesti tidak secara implisit menguraikan tentang tanggungjawab negara dalam PP ini, paling tidak kita mesti merespon positif komitmen pemerintah tersebut.
Di Kabupaten Sinjai, Bupati Sinjai juga telah mencanangkan Bantuan Hukum Gratis kepada orang miskin. Di Palembang, Tahun 2009 LBH Palembang, didukung PERADI dan KAI telah menandatangani MoU dengan Gubernur Sumatera Selatan terkait Bantuan Hukum Cuma-Cuma Lepada Kaum Miskin. Tidak ketinggalan Calon Walikota Macassar terpilih (Ilham Arif Sirajuddin) dalam Kampanyenya menjanjikan Bantuan Hukum Cuma-Cuma kepada kaum miskin, namun kita masih menunggu komitmen tersebut dikemudian hari.
Sekadar informasi LBH/YLBHI sejak didirikannya tahun 28 oktober 1969, telah menangani puluhan ribu kasus rakyat dalam rangka acces to justice for the foor. Pada 2006, YLBHI dengan 14 kantor dan 8 Pos merilis, telah menangani 2.830 kasus dan pengaduan masyarakat. Jika satu kasus, menghabiskan dana sekitar Rp 10 juta, maka sumbangan YLBHI untuk mewujudkan akses keadilan masyarakat kurang lebih Rp 2,8 miliar hanya untuk setahun. Belum lagi kalau kita berhitung jumlah penerima manfaat dari bantuan hukum Cuma-Cuma LBH-YLBHI jika 1 kasus stuktural dengan 300 Kepala Keluarga (KK), maka kalau diasumsikan 1 KK membawa 3 orang, tentu saja dalam satu kasus struktual LBH telah memberikan bantuan hukum gratis kepada 900 orang, Hanya untuk satu kasus ¡
Langkah kongrit yang dilakukan LBH-YLBHI yakni dengan melahirkan ribuan kader hukum di beberapa daerah. Contohnya Paralegal (orang yang diberi pengetahuan hukum dan memberi informasi hukum kepada masyarakat). Paralegal adalah bagian dari upaya menyediakan pelayanan jasa hukum, antara lain dilakukan melalui pemberdayaan sumber daya hukum masyarakat. Paralegal ini sangat penting untuk memasifkan dan memperluas akses masyarakat terhadap layanan dan bantuan hukum, termasuk memajukan gerakan masyarakat sipil dalam memperjuangkan hak asasi manusia
V. Penutup

Rapat kerja nacional LBH-YLBHI 4 – 6 Maret 2009, kembali mengagendakan pembahasan gerakan bantuan hukum menjadi agenda penting YLBHI bersama 14 Kantor di seluruh Indonesia. Gubernur DKI. Jakarta H. Fauzi Bowo dalam sambutannya pada Rakernas tersebut menyatakan “Pemerintah DKI. Jakarta akan terus mendukung perjuangan LBH, meski LBH seringkali menjadi kritik bagi pemerintah tapi kita berkomitmen bahwa apa yang diperjuangkan LBH adalah kebenaran”
Bantuan hukum Cuma-Cuma bukanlah sekadar konsep yang lahir begitu saja. Histori gerakan bantuan hukum yang digalang LBH-YLBHI adalah gerakan yang strukturalis (movement of structuralist) yang telah lama dipromosikan.
Bantuan hukum semestinya bukan hanya menjadi “kewajiban” LBH-YLBHI Namun Puluhan ribu Advokat yang tersebar di Indonesia semestinya memiliki tanggungjawab yang sama sebagaimana diatur dalam UU Advokat. Ironisnya, masih ada juga oknum advokat yang merekomendasikan pengaduan kasus yang masuk di Advokatnya kepada LBH.
Komitmen beberapa pemerintah seperti di Sumatera Selatan, Kabupaten Sinjai dan Makassar adalah contoh dari upaya memberikan layanan bantuan hukum Cuma-Cuma. Kita berharap komitmen tersebut dapat menjadi pilot Project dalam rangka memperluas akses keadilan kepada masyarakat miskin, siapa menyusul ¿
Penulis,
Direktur LBH Makassar
dan Dosen pada Fakultas Syariah dan Hukum
UIN MakassarTerimakasih telah mengenalku13 Agustus 2009 18:58YURA24 Nopember 2011 22:08

A. MUTTALIB

Malam ini kuhadapkan pandanganku di depan layar notebook, otak kecil mengantar jemariku bergerak sangat liar,menulis kisah nyata yang telah kualami dalam sempitnya ruang dan waktu. Aku tak tahu meski berbuat apa dan bagaimana. Biarkanlah suara-suara alam mengutuk kelakuanku padanya, biarkanlah kucing-kucing menghibur dirinya dengan meliuk-liuk di depan kamarku, biarkanlah mahluk disekitarku menertawai, aku pasrahkan segalanya hanya pada yang Maha Perkasa. Tuhan yang selama ini tidak sedikitpun aku merasa pernah dikhianatiNya dan tidak sedikitpun aku merasa pernah menjauh dariNya, karena aku yakin Allah lebih dekat dari urat nadiku bahkan ia telah menjadi bagian dari hari-hariku yang fana ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar